SAMARINDA – Dalam kurun waktu kurang dari satu bulan, dua banjir besar kembali melanda Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Bencana yang terjadi pada 12 dan 27 Mei 2025 itu tidak hanya merendam puluhan titik, tetapi juga menyebabkan longsor, pohon tumbang, hingga menelan korban jiwa.
Meski mendapat sorotan publik, Wali Kota Samarinda Andi Harun menolak anggapan bahwa pemerintahannya gagal mengatasi banjir. Ia menyebut kejadian tersebut sebagai “anomali tahunan” yang menurutnya tidak dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan program penanganan banjir.
“Peristiwa 12 Mei itu adalah anomali, siklus tahunan. Maka, tidak bisa dari kejadian itu kita simpulkan bahwa program penanggulangan banjir kita kurang berhasil,” ujar Andi Harun saat diwawancarai wartawan Media Kaltim.
Namun demikian, suara publik menunjukkan kekhawatiran yang berbeda. Pertanyaan mulai bermunculan: berapa kali lagi banjir harus terjadi sebelum pemerintah mengevaluasi ulang arah kebijakan pembangunan?
Kritik dari Akademisi: Fokus Bergeser, Proyek Primer Terabaikan
Seorang alumnus Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Unmul), yang turut menjadi korban banjir, menyampaikan kritik tajam. Ia menilai bahwa kinerja Andi Harun dalam masa jabatan pertama patut diapresiasi, namun kebijakan di periode kedua justru menunjukkan pergeseran prioritas.
“Sekarang lebih banyak proyek yang bukan kebutuhan primer. Banyak yang sekunder, bahkan tersier. Padahal Samarinda adalah kota eks tambang. Hampir semua izin tambang sudah habis, tetapi reboisasinya belum dikejar,” ujarnya.
Salah satu sorotan tertuju pada proyek pembangunan folder penahan air di kawasan Damanhuri yang belum terealisasi secara maksimal. Padahal lahan seluas 12 hektare milik Pemerintah Provinsi telah tersedia, dengan 10 hektare di antaranya disiapkan untuk proyek tersebut. Namun, hingga kini proyek masih terhambat tarik-ulur antara Pemkot dan Pemprov.
“Sudah dua tahun diwacanakan, tapi belum juga dilaksanakan serius. Anggaran banjir dari Pemprov sudah ratusan miliar, tapi kemajuannya belum terlihat,” ucapnya.
● Korban Jiwa dan Dampak Langsung
Banjir yang terjadi pada Selasa (27/5) menimbulkan dampak lebih serius. Tanah longsor terjadi di Jalan Gerilya, Gang Keluarga, Kelurahan Sungai Pinang Dalam, menyebabkan enam orang menjadi korban. Komandan Tim Basarnas Samarinda, Iwan Setiawan Abbas, menyampaikan bahwa empat orang berhasil selamat, satu ditemukan hidup dalam kondisi terjepit reruntuhan, dan satu orang lainnya masih dalam pencarian.
“Longsoran masih labil. Kami sedang memasang shoring system untuk menjamin keselamatan tim saat evakuasi,” ujar Iwan di lokasi.
Evakuasi berlangsung dalam kondisi berisiko tinggi akibat kontur tanah yang rapuh dan potensi longsor susulan. Peristiwa ini menandai bahwa banjir di Samarinda telah berkembang dari sekadar persoalan genangan menjadi persoalan keselamatan jiwa.
● Warga Menjadi Korban Berulang
Salah satu warga yang juga jurnalis, menceritakan bagaimana keluarganya turut terdampak banjir. Rumahnya di Gang Arwana 3, Jalan Marhusein, Kelurahan Selili, dua kali kemasukan air dalam bulan yang sama. Padahal sebelumnya, rumah tersebut jarang terdampak banjir hingga air masuk ke dalam rumah.
“Pada 12 Mei, saya berada di rumah dan ikut mengalami langsung sulitnya membersihkan lumpur, menyelamatkan barang, dan menghadapi ketidaknyamanan yang sama seperti ribuan warga lainnya,” ujarnya.
● Media, Solusi, dan Kepemimpinan
Di tengah kondisi ini, peran media menjadi sangat krusial untuk menjembatani aspirasi publik dan mengawal solusi teknis. Pemerintah daerah—baik kota maupun provinsi—diminta untuk menekan ego sektoral dan mempercepat realisasi program strategis pengendalian banjir.
Kritik terhadap istilah “anomali tahunan” menguat, karena genangan yang berulang dianggap bukan lagi fenomena alam semata, tetapi cermin dari arah kebijakan pemerintah. Warga berharap Wali Kota Andi Harun di periode keduanya lebih berpihak pada kebutuhan dasar masyarakat, terutama rasa aman dan kelayakan hidup.[]
Putri Aulia Maharani