BANDUNG — Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyampaikan keheranannya terhadap sejumlah pihak yang terus mengkritik program pendidikan barak militer untuk anak-anak bermasalah. Menurutnya, kritik tersebut tidak seimbang jika dibandingkan dengan diamnya sikap mereka terhadap dugaan korupsi besar yang terjadi di sektor pendidikan nasional.
Dalam unggahan di media sosial yang telah dikonfirmasi, Dedi menyatakan bahwa program pendidikan kebangsaan berbasis kedisiplinan militer telah memberikan dampak nyata, meski baru berjalan dalam jangka pendek. Orang tua peserta, menurut Dedi, telah merasakan perubahan positif dari anak-anak mereka.
“Berbagai media sudah mewawancarainya dan bagaimana keadaan mereka hari ini, dan juga ada antrean ribuan orang yang ingin menitipkan anaknya mengikuti pendidikan tersebut,” ujar Dedi, Kamis (29/05/2025).
Namun, Dedi menilai sebagian kalangan intelektual di Indonesia justru sibuk melayangkan kritik. Ia menyebut, seolah-olah program tersebut berbahaya dan harus dihentikan segera.
“Yang paling menarik adalah seolah-olah pendidikan barak militer adalah sesuatu yang sangat luar biasa yang akan merusak bangsa ini,” katanya.
Ia menegaskan, program pendidikan kebangsaan di barak militer justru memberi solusi cepat bagi anak-anak yang sedang berada dalam kondisi “darurat moral”. Ia membandingkan pendekatan tersebut seperti pertolongan pertama dalam dunia medis.
“Kalau orang dalam keadaan sakit, darurat, yang harus dilakukan adalah tindakan jangka pendek. Karena kalau dibiarkan, akan mengalami kematian,” ucapnya.
Lebih jauh, Dedi menyentil kurangnya perhatian publik terhadap dugaan korupsi di Kementerian Pendidikan yang disebut melibatkan kerugian negara hingga Rp 10 triliun. Ia menyayangkan minimnya sorotan terhadap kasus itu yang dianggap lebih merusak dunia pendidikan secara sistemik.
“Orang-orang itu seperti tidak peduli, diam, dan seolah-olah kasus itu tidak penting,” ujarnya.
Menurut Dedi, akar masalah dalam pendidikan nasional bukan sekadar proyek dan anggaran, melainkan ketulusan serta nilai kasih sayang yang mendasari sistem pendidikan.
“Semua anak-anak tidak akan tumbuh dengan baik manakala sistem pendidikannya hanya didasarkan pada aspek anggaran, pada jumlah biaya, dan ambisi untuk memperbanyak proyek di bidang pendidikan,” tegasnya.
Ia menutup pernyataannya dengan harapan agar semua pihak lebih fokus pada kebutuhan batin anak-anak, bukan sekadar evaluasi akademis dan proyek fisik.
“Minimal mari kita peduli, anak kita perlu cinta kasih, perlu tindakan, bukan hanya sekadar khayalan atau kajian,” pungkas Dedi. []
Diyan Febriana Citra.