BENGKULU — Terhentinya operasional Pelabuhan Pulau Baai selama delapan bulan bukan sekadar masalah teknis. Bagi lebih dari 4.000 warga Pulau Enggano, kondisi ini mencerminkan bentuk nyata ketimpangan layanan publik yang tak kunjung terselesaikan.
Pendangkalan pelabuhan utama di Provinsi Bengkulu ini bukan hanya memutus jalur distribusi barang dan jasa, tapi juga memiskinkan warga Enggano secara sistematis. Kehidupan ekonomi di pulau terluar itu lumpuh. Akses terhadap pasar, pendidikan, hingga pangan terganggu. Bahkan, dalam beberapa kasus, warga terpaksa kembali pada sistem barter.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Bengkulu, Wahyu Yuwana Hidayat, menyoroti pentingnya Pelabuhan Pulau Baai sebagai simpul utama ekonomi di wilayah tersebut.
“Pelabuhan Pulau Baai menjadi konsen bersama. Karena dampak ekonomi cukup terlihat, teman-teman asosiasi, pengusaha merasakan. Perekonomian menjadi terkontraksi,” kata Wahyu dalam sebuah diskusi ekonomi di Bengkulu, Rabu (18/06/2025).
Asisten II Pemprov Bengkulu, RA Denni, menyebutkan pelabuhan sudah tidak dapat beroperasi sejak delapan bulan lalu akibat pendangkalan yang belum tertangani.
Sementara itu, di sisi Enggano, warga seperti Iwan dari Desa Meok harus melepaskan harapan dari hasil kebunnya. Ia kini menjadi buruh proyek bangunan untuk menghidupi keluarganya.
“Ada yang jadi kuli bangunan. Saya sekarang jadi upahan proyek. Biar ada uang. Karena ini untuk anak dan istri,” ucap Iwan dengan nada lelah.
Beban ekonomi ini pun dirasakan anak-anak mereka yang sedang menempuh pendidikan di kota. Iwan mengaku kesulitan mengirim biaya kuliah untuk anaknya.
“Anak saya itu biasanya kami kirim Rp 300 ribu dua minggu sekali. Tapi kini, sudah tak bisa. Saya minta anak saya berhemat betul,” ungkapnya.
Koordinator suku-suku Enggano, Milson Kaitora, menggambarkan betapa kehidupan ekonomi di pulau itu hampir berhenti total.
“Kehidupan ekonomi di sini boleh dibilang lumpuh. Warung-warung sepi, rumah makan bahkan ada yang tutup. Tidak ada orang berbelanja, karena tidak ada uang,” katanya.
Kendati kapal penumpang sudah mulai beroperasi kembali, distribusi barang dan hasil bumi belum sepenuhnya pulih. Warga masih kesulitan mengangkut hasil panen ke kota.
“Meski harus turun di tengah laut kalau ke kota, tapi cukuplah. Tapi bagaimana hidup kami di sini, ini yang tidak diperhatikan pemerintah,” ujar Milson.
Ketua AMAN Enggano, Mulyadi Kauno, menambahkan bahwa sebagian warga bahkan harus menyewa kapal nelayan dengan tarif Rp 18 hingga Rp 20 juta untuk membawa hasil panen keluar pulau. Bagi yang tidak mampu, hasil panen terpaksa dibiarkan membusuk.
Fahmi Arisandi, Ketua AMAN Wilayah Bengkulu, menilai kondisi Enggano sebagai cerminan buruknya tata kelola dan perhatian pemerintah daerah terhadap masyarakat kepulauan.
“Ini bukan sekadar gangguan ekonomi. Ini adalah bentuk nyata dari ketidakadilan struktural yang dibiarkan,” tegasnya. []
Diyan Febriana Citra.