TANGERANG SELATAN – Suasana di Jalan Ir H Juanda, Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan memanas pada Senin (23/06/2025), ketika tim gabungan dari Dinas Perhubungan dan Satpol PP Tangsel melaksanakan penertiban sejumlah bangunan liar di kawasan tersebut. Warga yang telah lama tinggal di atas lahan milik Pemerintah Kota (Pemkot) Tangsel menentang pembongkaran dan menyuarakan keberatan mereka secara terbuka.
Pantauan di lapangan menunjukkan adanya blokade warga yang dipasang untuk menghalangi akses masuk alat berat ke area yang akan dibongkar. Kursi dan meja diletakkan di tengah jalan, sementara sebuah spanduk putih dengan tulisan tegas dibentangkan: “Kami seluruh warga Paguyuban Roksi Ciputat Menolak Eksekusi Sebelum Ada Dialog.”
Spanduk itu dipegang erat oleh tiga ibu rumah tangga, menjadi simbol perlawanan terhadap langkah pemerintah yang dinilai sepihak. Sebanyak 15 warga duduk berjajar, membentuk barikade damai di depan pintu masuk area Roksi. Bagi mereka, pembongkaran bukan hanya persoalan fisik bangunan, melainkan menyangkut keberlangsungan tempat tinggal dan mata pencaharian.
“Mana suaranya warga? Kita butuh dialog!” teriak Jaka (bukan nama asli), salah satu warga yang hadir di tengah-tengah massa, disambut sorakan solidaritas warga lainnya.
Pemerintah Kota Tangsel menurunkan dua alat berat berupa ekskavator untuk membongkar bangunan liar, khususnya tempat karaoke yang diduga menjadi lokasi praktik prostitusi ilegal. Namun, ketegangan meningkat karena warga merasa belum ada proses dialog yang memadai.
Sebuah dialog akhirnya berlangsung di lokasi antara aparat Pemkot Tangsel dan perwakilan warga Paguyuban Roksi. Hadir dalam forum tersebut antara lain Anggota DPRD Kota Tangsel dari Fraksi PSI, Steven Jansen; Kepala Dishub Ayep Jajat Sudrajat; Camat Ciputat Mamat; Lurah Ciputat Iwan Pristiasya; serta Kapolsek Ciputat Timur, Bambang Askar Sodiq.
Meski pembicaraan masih berlangsung, sebagian warga mulai mengemas barang-barang dari dalam rumah. Mereka menyadari bahwa pembongkaran mungkin tak terhindarkan, meski penolakan terus digaungkan.
Bentrokan fisik berhasil dihindari berkat pendekatan persuasif dan kehadiran tokoh masyarakat serta anggota dewan. Namun, konflik sosial dan ketimpangan antara kebijakan penertiban dan kebutuhan tempat tinggal warga tetap menjadi persoalan yang menunggu penyelesaian lebih adil dan manusiawi. []
Diyan Febriana Citra.