Hutan Tesso Nilo Terus Menyusut, Penegakan Hukum Diperkuat

Hutan Tesso Nilo Terus Menyusut, Penegakan Hukum Diperkuat

PEKANBARU – Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan, Riau, tengah menghadapi tantangan serius akibat berkurangnya luas kawasan hutan konservasi. Dari total 81.000 hektare yang ditetapkan sebagai kawasan pelindung satwa liar, kini hanya sekitar 16.000 hektare yang tersisa. Penurunan ini mengindikasikan perlunya strategi terpadu antara pelestarian lingkungan, penegakan hukum, dan kesadaran kolektif masyarakat.

Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan menyoroti urgensi kolaborasi lintas sektor untuk menyelamatkan TNTN sebagai habitat utama Gajah Sumatera yang terancam punah. Dalam pernyataannya pada Selasa (24/06/2025), ia mengajak semua elemen masyarakat untuk mengembalikan fungsi Tesso Nilo sebagai “rumah gajah”.

“Untuk itu saya mengajak tokoh masyarakat, tokoh agama, civitas akademika, seluruh pelaku usaha yang ada di Provinsi Riau terutama di Kabupaten Pelalawan untuk sama-sama menyuarakan keadilan rumah gajah, kembalikan rumah gajah. Tesso Nilo sebagai rumah mereka,” ujar Herry.

Upaya menjaga kawasan konservasi ini tidak bisa lepas dari komitmen aparat penegak hukum. Irjen Herry menegaskan bahwa pihaknya akan bertindak tegas terhadap segala bentuk pelanggaran yang mengarah pada perusakan kawasan hutan, termasuk aksi perambahan dan komersialisasi lahan konservasi.

“Dalam kesempatan ini saya memberikan peringatan keras, satu tersangka di belakang saya ini mempunyai peran sangat penting dan insyaallah akan berkembang kepada tersangka lain yang memperjualbelikan kawasan hutan konservasi ini untuk kepentingan pribadi,” ungkapnya.

Penindakan hukum ini menandai langkah konkret dalam merespons praktik manipulasi simbol adat, seperti pemanfaatan status tanah ulayat untuk kepentingan pribadi. Hal ini disorot Kapolda sebagai bentuk penyimpangan yang merugikan lingkungan dan komunitas lokal.

“Jadi saya sampaikan kepada seluruh pihak, termasuk tokoh masyarakat, tokoh adat, saya minta tolong jangan memanipulasi simbol-simbol adat kita demi keuntungan pribadi yang merusak lingkungan, khususnya hutan Tesso Nilo rumahnya anak-anak saya (gajah) Domang dan Tari,” lanjut Herry.

Salah satu kasus yang kini ditangani adalah penetapan seorang tokoh adat bernama Jasman (54) sebagai tersangka atas dugaan menjual lahan konservasi dengan dalih tanah ulayat. Kasus ini menjadi preseden penting bahwa peran tokoh adat harus selaras dengan upaya perlindungan lingkungan, bukan sebaliknya.

Herry juga menyatakan bahwa komersialisasi lahan konservasi adalah kejahatan lingkungan yang berdampak luas, bukan hanya bagi satwa liar, tetapi juga masa depan generasi bangsa.

“Ini adalah kejahatan terhadap keberlangsungan kita semua, masa depan generasi penerus kita, dan saya tidak main-main kita akan tindak tegas,” tegasnya.

Upaya penyelamatan Tesso Nilo kini berada di titik krusial. Perlu peran aktif semua pihak pemerintah, masyarakat adat, penegak hukum, akademisi, hingga pelaku usaha untuk memastikan hutan terakhir di jantung Sumatera ini tetap menjadi rumah aman bagi satwa liar, terutama Gajah Sumatera yang populasinya terus terdesak. []

Diyan Febriana Citra.

Berita Daerah Hotnews