SEMARANG – Fakta-fakta baru terungkap dalam sidang lanjutan kasus dugaan pemerasan dan perundungan yang terjadi di lingkungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip). Persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Semarang pada Rabu (25/06/2025), menghadirkan Hasyim Adi Prabowo, seorang helper atau tenaga pembantu dari pihak ketiga yang berperan dalam penyediaan logistik makanan bagi para residen.
Hasyim, yang akrab disapa Bowo, memberikan kesaksian dalam perkara yang melibatkan terdakwa Zara Yupita Azra, salah satu senior dalam program PPDS Anestesi. Dalam kesaksiannya, Bowo menjelaskan perannya yang bersifat rutin, yaitu memesan dan mengantarkan makanan untuk para peserta pendidikan kedokteran spesialis yang tengah bertugas di RSUP dr. Kariadi, Semarang.
“Kadang 30, kadang 50 makanan setiap hari,” ujar Bowo kepada majelis hakim. Ia menyebut pemesanan makanan dilakukan melalui grup WhatsApp yang dinamai ‘Grup Makan’, dan menu yang disediakan ditentukan oleh senior.
Bowo menambahkan bahwa makanan yang telah dipesan biasanya dititipkan melalui satpam rumah sakit, lalu diambil oleh para residen. “Menunya sama semua, dititip ke satpam tiap hari, nanti residen ambil. Saya kasih kabar kalau makanan sudah sampai,” jelasnya di hadapan hakim.
Yang menarik, menurut kesaksian Bowo, kebutuhan logistik ini dibiayai melalui dana kolektif dari para peserta PPDS, yang ditransfer melalui bendahara kelompok. Jumlahnya tidak sedikit.
“Iya segitu, per hari bisa lima juta,” katanya, memperkirakan dana yang beredar mencapai sekitar Rp 500 juta per semester.
Sebagai helper, Bowo menerima gaji tetap sebesar Rp 3,5 juta per bulan. Ia mengaku telah bekerja sejak angkatan PPDS ke-70 hingga ke-80. Dalam praktiknya, ia hanya menjalankan perintah, tanpa mengetahui secara rinci alur pertanggungjawaban dana besar yang digunakan.
Kasus ini menyeret tiga terdakwa, yakni Zara Yupita Azra, Taufik Eko Nugroho, dan Sri Maryani, yang didakwa telah memungut Biaya Operasional Pendidikan (BOP) sebesar Rp 80 juta per mahasiswa. Dana tersebut diduga tidak hanya digunakan untuk membayar helper dan konsumsi harian, tetapi juga untuk membiayai joki tugas.
Zara, yang berperan sebagai senior dan pembimbing informal, disebut-sebut memanfaatkan posisinya untuk menekan juniornya secara struktural. Ia kini menghadapi dakwaan serius dengan pasal berlapis, antara lain:
-
Pasal 368 ayat (1) KUHP – Tindak pidana pemerasan
-
Pasal 335 ayat (1) KUHP – Pemaksaan disertai kekerasan atau ancaman
-
Pasal 378 KUHP – Tindak pidana penipuan
Sidang yang terus bergulir ini menjadi sorotan publik karena mencerminkan tantangan dalam dunia pendidikan kedokteran di Indonesia. Praktik senioritas yang ekstrem, jika tak dikendalikan, dapat menjelma menjadi bentuk kekerasan struktural yang merugikan peserta didik, baik secara psikologis maupun finansial. []
Diyan Febriana Citra.