Kedok Investasi Bodong

Kedok Investasi Bodong

MEMEGANG kontrak kerja yang telah diteken ‘petinggi’ Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Kartanegara (Kukar), PT Citra Gading Asritama (CGA) berlagak jadi investor untuk mega proyek Royal World Plaza (RWP).

7 November 2012 lalu, setidaknya menjadi tonggak harapan banyak orang, mulai dari Bupati Rita Widyasari hingga masyarakat, khususnya yang tinggal di Kota Tenggarong. Asa itu berupa berdirinya pusat perbelanjaan modern yang juga menawarkan berbagai hiburan di tahun 2014 ini.

Namun angan itu pupus ketika CGA tak mampu menunaikan janjinya. Pekerjaannya macet di tengah jalan. Berbagai persoalan muncul, termasuk isu krisis finansial. Status “investor” yang disematkan di perusahaan asal Surabaya itu pun jadi sirna di mata publik.

Gambarannya, jika CGA investor, tentunya berduit untuk membangun. Tapi kelakuan CGA ini mirip-mirip kontraktor, yang bekerja setalah ada kucuran dana. Padahal, predikat investor dan kontraktor rekanan sangat jauh berbeda hak dan tanggung jawabnya.

Jika menjadi rekanan pemerintah, memungkinkannya mendapatkan pembayaran 20 persen dari nilai kontrak. Selain itu ada juga pembayaran prestasi kerja yang memungkinkan perusahaan mendapatkan pembayaran setiap bulan, per termin.

Itu semua diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 (Kepres 80/2003) tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Bahkan pada ketetapan terbaru, pembayaran prestasi dapat diberikan sekaligus. Aturan baru itu adalah Peraturan Presiden (Perpres) 54/2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah serta aturan perubahannya Perpres 35/2011 dan Perpres 70/2012.

Lalu bagaimana dengan investor? Untuk mendorong percepatan pembangunan, pemerintah dapat menggandeng badan usaha untuk ikut andil dalam membiayai penyediaan infrastruktur dengan skema Kerja sama Pemerintah – Swasta (KPS). Ini yang dimaksud investasi dalam kaca mata Perpres 67/2005 tentang Kerja Sama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, beserta aturan perubahannya Perpres 13/2010, Perpres 56/2011 dan Perpres 66/2013.

Prasangka buruk lalu muncul, jangan-jangan menjadi investor adalah kedok saja untuk memudahkan mengeruk duit di daerah kaya ini. Buktinya, pasca ditetapkan menjadi investor RWP, CGA sukses dapat dua paket lelang bernilai ‘wah’. Pertama, proyek jalan di Kembang Janggut bernilai Rp 208 miliar dan proyek pembangunan infrastruktur jalan kawasan central bisnis distrik Tenggarong dengan nilai Rp 390 miliar. Padahal masih ada dua paket pekerjaan lain dan satu paket gawe investasi yang sedang berjalan dan belum selesai-selesai di Kukar.

Lalu dengan alasan menanti ‘jaminan’ para pembeli unit kantor di RWP yang belum jadi itu, sang investor dengan seenaknya berhenti membangun. Belakangan muncul alasan baru, duit perusahaan sudah tersedot banyak proyek yang didapat belakangan. Mau tak mau Pemkab Kukar ikut dibuat pusing mencarikan uang.

Untung saja usaha pemerintah berhasil, jaminan ‘pembelian’ unit kantor RWP sebanyak Rp 20 miliar mengucur ke kantong CGA. Bahkan dana segar ratusan miliar rupiah dari Bank Pembangunan Daerah (BPD) Kaltim juga telah mengalir untuk menyokong realisasi proyek tersebut.

Sepantasnya, kalau jadi investor bonafit, sudah pasti siap uang, siap bangun. Perencanaan pun matang, baik finansial, teknisnya hingga perizinannya. Ini tidak, selain tak punya duit, perencanaan teknisnya pun berubah-ubah. Belum lagi soal perizinan. Jika Izin Mendirikan Bangunan (IMB) saja belum didapat, apa lagi izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

Lagipula, CGA ini dikenal sebagai kontraktor nakal dan banyak masalah sampai-sampai masuk daftar hitam Bank Dunia. Sebuah proyek di Lombok Timur, yakni proyek pembangunan Labuhan Haji, bahkan sampai membuat sang direktur utamanya, Ichsan Suaidi, meringkuk di jerusi besi.

Jika kenyataannya begitu, apa masih tak malu disebut investor? Jika pun memang harus disebut, maka yang pantas disematkan adalah investor bodong. Ya, Citra Gading Asritama investor tipu-tipu. []

Editorial