JAKARTA – Fenomena pemberian gelar Profesor atau Guru Besar Kehormatan (Honoris Causa/HC) kepada tokoh-tokoh publik tanpa keterlibatan aktif dalam dunia akademik kembali menuai polemik. Pasalnya, sejumlah individu menerima gelar tersebut tanpa rekam jejak sebagai dosen pengajar maupun peneliti.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengeluarkan kebijakan tegas dengan melarang seluruh kampus Muhammadiyah memberikan gelar Profesor Kehormatan. Langkah ini dinilai sebagai upaya menjaga integritas dan marwah akademik di lingkungan perguruan tinggi Muhammadiyah.
Kebijakan tersebut mendapat sambutan positif dari kalangan akademisi. Salah satunya adalah Prof. Lely Arrianie, dosen LSPR Institute yang baru saja dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Komunikasi Politik pada Jumat (11/4). Ia mendukung sepenuhnya langkah tegas Muhammadiyah.
“Menjadi Guru Besar itu melalui proses panjang. Saya sendiri sudah menjadi dosen selama 25 tahun,” ujar Lely saat ditemui di kampus LSPR Institute.
Ia menjelaskan bahwa untuk meraih gelar akademik tertinggi tersebut, seorang dosen harus memenuhi sejumlah persyaratan berupa pengumpulan angka kredit dari pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta aktivitas akademik lainnya seperti menjadi pembicara di forum ilmiah.
Menurutnya, fenomena pemberian gelar Profesor Kehormatan secara tiba-tiba kerap menimbulkan pertanyaan publik. “Tiba-tiba jadi Profesor (HC), kapan jadi dosennya?” ujarnya menyindir.
Dalam orasi ilmiahnya, Lely membawakan pidato bertajuk “Komunikasi Politik Tanpa Model: Tantangan Menemukan Model Komunikasi Politik Khas Indonesia Menuju 2045.” Ia mengungkapkan bahwa hingga kini Indonesia belum memiliki model komunikasi politik yang baku dan khas. Yang berkembang justru gaya komunikasi politik yang bersifat personal, dari era Bung Karno hingga pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo Subianto.
“Model komunikasi politik seharusnya bersifat terstruktur dan bisa dijadikan acuan, berbeda dengan gaya komunikasi yang lebih personal,” jelasnya.
Rektor LSPR Institute, Andre Ikhsano, menambahkan bahwa jabatan Guru Besar saat ini masih terbilang langka. Berdasarkan data, hanya sekitar 2,6 persen dari 330 ribu dosen aktif di Indonesia yang menyandang gelar tersebut.
Ia juga menjelaskan bahwa proses pengajuan Guru Besar kini telah beralih ke sistem digital, berbeda dengan masa lalu yang masih mengandalkan berkas fisik. “Dulu bisa sampai berkoper-koper. Kalau ada dokumen hilang, susah dicari,” katanya.
Dengan adanya kebijakan dari PP Muhammadiyah ini, diharapkan kualitas dan kredibilitas gelar akademik tetap terjaga serta tidak disalahgunakan untuk kepentingan di luar dunia pendidikan.[]
Putri Aulia Maharani