Keterlibatan AS dalam Perang Israel-Iran Bisa Dorong Harga Minyak Naik

Keterlibatan AS dalam Perang Israel-Iran Bisa Dorong Harga Minyak Naik

JAKARTA — Harga minyak mentah dunia diprediksi akan mengalami lonjakan tajam antara US$3 hingga US$5 per barel menyusul serangan udara yang dilakukan Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir Iran. Ketegangan geopolitik yang meningkat ini mendorong pasar untuk memperhitungkan risiko yang lebih besar terhadap pasokan energi global.

Pada penutupan perdagangan Jumat (21/6), harga minyak jenis Brent tercatat berada di level US$77,01 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) milik Amerika Serikat ditutup di harga US$73,84 per barel.

Analis geopolitik senior di Rystad Energy sekaligus mantan pejabat OPEC, Jorge Leon, menyatakan bahwa pasar akan memperhitungkan premi risiko geopolitik yang lebih tinggi dalam penentuan harga, meskipun belum ada pembalasan langsung dari Iran. Menurutnya, sentimen pasar cenderung bereaksi cepat terhadap potensi gangguan pasokan.

Sementara itu, analis komoditas dari Saxo Bank, Ole Hansen, memprediksi bahwa harga minyak mentah dapat melonjak hingga US$5 saat perdagangan dibuka, didorong oleh aksi ambil untung dari investor yang memegang posisi beli (long position).

Sejak meletusnya konflik antara Iran dan Israel pada 13 Juni lalu yang ditandai dengan serangan Israel ke fasilitas nuklir Iran serta balasan rudal Iran ke Tel Aviv harga minyak Brent telah meningkat sekitar 11 persen, sedangkan WTI naik hampir 10 persen.

Namun demikian, analis UBS, Giovanni Staunovo, menilai bahwa kestabilan pasokan dan keberadaan kapasitas cadangan di negara-negara anggota OPEC masih menjadi faktor penahan lonjakan harga lebih lanjut. Ia menekankan bahwa pergerakan harga ke depan akan sangat ditentukan oleh potensi gangguan pasokan.

Dalam perkembangan terpisah, seorang anggota parlemen senior Iran pada 19 Juni menyebutkan bahwa negaranya dapat mempertimbangkan untuk menutup Selat Hormuz sebagai bentuk pembalasan jika fasilitas vital Iran terancam. Selat tersebut merupakan jalur strategis yang dilewati sekitar 20 persen pasokan minyak dunia.

Meski demikian, sebagian analis menganggap skenario penutupan selat sebagai risiko ekstrem, bukan kemungkinan utama. Direktur Analis Energi ICIS menyatakan bahwa Iran kemungkinan tidak akan menutup jalur tersebut dalam waktu lama, mengingat sebagian besar ekspor minyak Iran ke Tiongkok juga melintasi selat tersebut. Tekanan diplomatik dari negara-negara besar seperti AS dan Tiongkok pun diperkirakan akan menahan langkah ekstrem tersebut.

Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengklaim telah menghancurkan salah satu fasilitas nuklir utama Iran bersama dengan Israel. Iran, sebagai produsen minyak terbesar ketiga di OPEC, menegaskan akan membalas tindakan tersebut demi mempertahankan kedaulatan dan kepentingan nasionalnya.[]

Putri Aulia Maharani

Internasional