Hakim MK Menegaskan Penulisan Sejarah Harus Bebas dari Kekuasaan

Hakim MK Menegaskan Penulisan Sejarah Harus Bebas dari Kekuasaan

JAKARTA — Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Arief Hidayat, menegaskan pentingnya objektivitas dalam proyek penulisan ulang sejarah nasional. Ia mengingatkan bahwa sejarah seharusnya tidak ditulis berdasarkan sudut pandang penguasa, melainkan harus mencerminkan fakta secara jujur dan berimbang.

Pernyataan tersebut disampaikan Arief saat menanggapi rencana pemerintah Presiden Prabowo Subianto melalui Kementerian Kebudayaan, yang kini berada di bawah kepemimpinan Fadli Zon, untuk merevisi dan menulis ulang sejarah Indonesia.

“Ada pameo, sejarah itu dituliskan oleh orang yang berkuasa. Supaya untuk penulisan sejarah yang akan dilakukan, jangan menggunakan pameo itu,” ujar Arief kepada awak media di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, pada Senin (30/6).

Ia menambahkan, “Sejarah harus ditulis secara objektif, tidak ditulis oleh orang yang berkuasa. Itu saja.”

Meski memberikan kritik terhadap pendekatan yang tidak objektif, Arief tidak secara eksplisit menolak proyek tersebut. Ia menyatakan, “Ya boleh diteruskan, tapi penulisannya secara objektif dan jujur, tidak mengatakan bagaimana ada pameo sejarah dituliskan oleh orang yang berkuasa menurut versinya.”

Lebih lanjut, Arief menekankan bahwa jika revisi sejarah hanya mencerminkan sudut pandang pihak penguasa dan tidak berdasarkan objektivitas, maka hal itu merupakan kekeliruan besar. “Ya, enggak benar itu,” kata dia.

Proyek penulisan ulang sejarah yang digagas Kementerian Kebudayaan sebelumnya telah menuai berbagai kritik. Salah satu sorotan tajam datang dari penghilangan bagian-bagian sejarah penting, terutama terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang pernah terjadi di masa lalu.

Kontroversi semakin mengemuka setelah munculnya video wawancara berjudul Real Talk: Debat Panas!! Fadli Zon vs Uni Lubis soal Revisi Buku Sejarah, yang tayang di kanal YouTube IDN Times pada 10 Juni 2025. Dalam video tersebut, Fadli menyampaikan sejumlah pernyataan yang menuai reaksi keras publik.

Ia menyatakan tidak ada bukti mengenai tindak kekerasan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan massal, dalam peristiwa reformasi 1998. Fadli menyebut bahwa informasi tersebut hanyalah rumor yang tidak pernah tercantum dalam catatan sejarah resmi.

Pernyataan ini menuai kecaman dari berbagai kalangan, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus kekerasan Mei 1998 yang dibentuk oleh Presiden ketiga Republik Indonesia, BJ Habibie.

Sebelumnya, sejumlah pihak seperti sejarawan Bonnie Triyana dan organisasi masyarakat sipil juga telah menyuarakan penolakan terhadap revisi sejarah yang dianggap parsial dan mengabaikan bab-bab kelam dalam perjalanan bangsa.

Dengan mencuatnya polemik ini, perdebatan seputar siapa yang berhak menulis sejarah dan bagaimana seharusnya sejarah disusun pun kembali mengemuka di ruang publik.[]

Putri Aulia Maharani

Nasional