YERUSALEM – Gelombang kecaman internasional kembali menghantam Israel setelah pemerintah negeri itu menyetujui proyek pembangunan permukiman besar-besaran di kawasan E1, Tepi Barat. Langkah tersebut langsung menuai penolakan dari 21 negara, termasuk sekutu dekat Israel seperti Inggris, Prancis, Kanada, dan Jepang, yang biasanya berhati-hati dalam mengkritik Tel Aviv.
Dalam pernyataan bersama pada Kamis (21/08/2025), para menteri luar negeri negara-negara tersebut menyebut pembangunan permukiman seluas 12 kilometer persegi di timur Yerusalem itu tidak dapat diterima sekaligus melanggar hukum internasional. Mereka menegaskan, Kami mengecam keputusan ini dan menyerukan pembatalannya segera dengan sekuat-kuatnya.
Kecaman internasional bukanlah hal baru, namun yang membuat situasi kali ini berbeda adalah keterlibatan sekutu tradisional Israel. Negara-negara Barat tersebut menilai pembangunan di E1 akan menghancurkan prospek solusi dua negara, karena memutus kontinuitas wilayah Palestina dan membatasi akses ke Yerusalem Timur yang selama ini dianggap sebagai ibu kota masa depan Palestina.
Selain 21 negara tersebut, Uni Eropa melalui perwakilan tingginya untuk urusan luar negeri ikut menyuarakan penolakan. Pernyataan itu menegaskan bahwa proyek permukiman baru “tidak memberi manfaat apa pun bagi rakyat Israel” serta berpotensi “melemahkan keamanan, memicu kekerasan, dan memperdalam ketidakstabilan.”
Kepala badan pengungsi PBB, Philippe Lazzarini, juga mengingatkan bahwa rencana tersebut akan sepenuhnya memutus konektivitas antara Tepi Barat utara dan selatan. Peringatan keras juga datang dari Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, yang menyebut kebijakan Israel ini semakin menjauhkan peluang perdamaian.
Proyek E1 sejatinya bukan rencana baru. Komite Perencanaan Tinggi Israel telah mengajukan rencana pembangunan sekitar 3.400 unit rumah di kawasan tersebut selama bertahun-tahun. Letaknya strategis, berada di antara Yerusalem dan permukiman Israel Maale Adumim. Namun, keberadaannya dianggap akan memecah Tepi Barat menjadi dua bagian terpisah, sehingga menghalangi berdirinya negara Palestina yang berdaulat dan utuh.
Bagi Israel, proyek ini diklaim penting untuk memperkuat keamanan nasional. Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, secara terbuka menyatakan bahwa pembangunan E1 akan menjadi benteng pertahanan. Namun bagi pengkritik, dalih keamanan tidak sebanding dengan konsekuensi geopolitik yang muncul meningkatnya isolasi Israel di dunia internasional dan potensi eskalasi konflik.
Sejumlah negara mengambil langkah nyata untuk mengekspresikan protes. Inggris, misalnya, memanggil Duta Besar Israel di London, Tzipi Hotovely, guna menyampaikan keberatan resmi.
“Jika diterapkan, rencana ini akan menjadi pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional dan menghancurkan prospek solusi dua negara,” tegas Kementerian Luar Negeri Inggris.
Di Ramallah, Otoritas Palestina menegaskan kembali penolakan kerasnya terhadap pembangunan E1. Menurut mereka, proyek itu sama saja dengan “membunuh harapan rakyat Palestina untuk memiliki negara sendiri.”
Meski tekanan diplomatik semakin besar, Israel hingga kini tidak menunjukkan tanda-tanda akan membatalkan proyek tersebut. Situasi ini membuat komunitas internasional khawatir bahwa langkah unilateral Israel kian memperdalam jurang konflik, serta menjadikan perdamaian di kawasan semakin jauh dari jangkauan. []
Diyan Febriana Citra.