JAKARTA – Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Veronica Tan menyoroti hubungan erat antara kondisi ekonomi keluarga, jumlah anak, dan tingginya kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Menurutnya, situasi ini menjadi tantangan serius dalam mewujudkan generasi emas pada 2045.
Dalam kegiatan Double Check Peran Pembangunan Keluarga Dalam Menyongsong Indonesia Emas 2045 di Jakarta Pusat, Sabtu (09/08/2025), Veronica menjelaskan bahwa keluarga dengan kondisi ekonomi lemah sering kali memiliki anak dalam jumlah banyak, bahkan hingga belasan.
“Bisa dibayangkan ketika satu keluarga punya 10 anak, bisa sampai 13 anak di Jawa Barat. Makanya kasus kekerasan anak banyak,” ujarnya.
Ia menekankan, peran orangtua tidak hanya berhenti pada melahirkan anak, tetapi juga memastikan setiap anak mendapatkan kehidupan yang layak, terutama dalam hal pendidikan.
“Karena enggak dipintarin, tujuan keluarga itu memintarkan anak, bukan melahirkan anak,” tegasnya.
Veronica juga menyoroti tingginya angka putus sekolah, khususnya di kalangan anak laki-laki. Berdasarkan pengamatannya, banyak anak yang berhenti sekolah pada usia 15 tahun dan tidak melanjutkan ke jenjang SMA. Faktor ekonomi menjadi penyebab utama, di mana orangtua cenderung mendorong anak untuk bekerja demi menambah penghasilan keluarga.
“Ketika mereka masuk SMA berbayar, Mamanya akan ngomong, ‘Tuh liat anak orang lain itu udah pada kerja, dapat Rp 500.000, ngapain lu sekolah? Ini balik lagi ke lingkungan,’” ungkapnya.
Masalah lain yang mendapat perhatian adalah praktik pernikahan dini. Meskipun Undang-Undang Perkawinan telah menetapkan batas usia minimal 19 tahun, banyak pernikahan dini yang terjadi secara siri dan tidak tercatat secara resmi.
“Data kita gimana? Sudah turun, ya karena (ternyata) tidak tercatat, nikah siri. Karena apa? Ekonominya enggak ada, desakan itu balik,” jelasnya.
Menurut Veronica, pasangan yang menikah di usia terlalu muda kerap kesulitan menjalankan peran sebagai orangtua. Kurangnya kesiapan mental, pendidikan, dan dukungan ekonomi membuat anak-anak yang lahir dari pernikahan dini sering kali tidak mendapatkan pengasuhan yang memadai.
“Ini balik lagi, beban hati, moral, etika. Tapi ujungnya adalah uang dan ekonomi. Program yang kita harus lihat adalah bagaimana meningkatkan ekonominya,” tambahnya.
Ia menegaskan, upaya pencegahan kekerasan terhadap anak tidak bisa hanya mengandalkan penegakan hukum atau kampanye kesadaran. Perlu ada kebijakan yang lebih kuat untuk meningkatkan taraf ekonomi keluarga miskin, termasuk pemberdayaan ekonomi perempuan dan pemerataan akses pendidikan. Dengan demikian, generasi muda Indonesia memiliki peluang yang sama untuk tumbuh dalam lingkungan yang aman, sehat, dan berkualitas. []
Diyan Febriana Citra.