BANDA ACEH – Tepat 20 tahun sudah masyarakat Aceh menikmati suasana damai setelah puluhan tahun dilanda konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia. Peringatan dua dekade perdamaian itu akan kembali digelar pada 15 Agustus 2025 di Balai Meuseuraya Aceh (BMA), dengan rangkaian acara yang sarat makna dan dihadiri para tokoh kunci proses perdamaian.
Ketua panitia peringatan menyebut, acara tahun ini dirancang tidak sekadar sebagai seremoni, melainkan juga sebagai ajang refleksi perjalanan Aceh dari masa konflik menuju pembangunan yang berkelanjutan. Kegiatan akan diawali dengan zikir dan doa bersama, dilanjutkan pemberian santunan kepada anak yatim serta bantuan bagi eks kombatan GAM. Selain itu, akan diputar video dokumenter yang mengisahkan perjalanan panjang dari masa perang hingga lahirnya perdamaian, serta pemberian penghargaan bagi tokoh yang berperan penting dalam proses tersebut.
Momentum perdamaian Aceh berawal dari peristiwa tragis tsunami 26 Desember 2004 yang mengguncang wilayah itu. Bencana tersebut menjadi titik balik yang mendorong kedua pihak, GAM dan Pemerintah RI, untuk mengakhiri konflik. Dorongan internasional, terutama dari pihak mediator, berhasil mempertemukan kedua belah pihak di meja perundingan.
Pertemuan awal berlangsung pada 27 Februari 2005 di Helsinki, Finlandia. Delegasi pemerintah Indonesia terdiri dari Hamid Awaluddin, Sofyan A. Djalil, Farid Husain, Usman Basyah, dan I Gusti Wesaka Pudja. Dari pihak GAM hadir Malik Mahmud, Zaini Abdullah, M Nur Djuli, Nurdin Abdul Rahman, dan Bachtiar Abdullah. Proses perundingan dilakukan dalam lima putaran sejak 27 Januari 2005 hingga mencapai kesepakatan pada 15 Agustus 2005, yang dikenal sebagai Kesepakatan Helsinki.
Kesepakatan itu menjadi titik awal transformasi Aceh. Pada 19 Desember 2005, GAM menyerahkan 840 pucuk senjata kepada Misi Monitoring Aceh (AMM), diikuti pembubaran formal Tentara Neugara Aceh (TNA) pada 27 Desember 2005. Pemerintah Indonesia kemudian menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang memberi otonomi khusus bagi provinsi tersebut.
Kini, dua dekade setelah perjanjian ditandatangani, Aceh menghadapi tantangan baru mempertahankan perdamaian dan mengelola otonomi untuk kesejahteraan masyarakat. Bagi sebagian warga, peringatan ini bukan hanya mengenang masa lalu, tetapi juga mengingatkan pentingnya menjaga persatuan di tengah perubahan zaman.
“Memang kita sudah damai, tapi menjaga perdamaian itu pekerjaan setiap hari,” ungkap salah satu tokoh masyarakat di Banda Aceh.
Peringatan 20 tahun ini diharapkan menjadi pengingat bahwa perdamaian bukanlah hadiah yang datang begitu saja, melainkan hasil kerja keras, pengorbanan, dan komitmen bersama. []
Diyan Febriana Citra.