Akreditasi Panti Asuhan Dirombak, Ada Reward and Punishment

Akreditasi Panti Asuhan Dirombak, Ada Reward and Punishment

JAKARTA – Pemerintah mulai menata ulang sistem akreditasi panti asuhan dengan menekankan aspek kualitas layanan, bukan lagi sekadar kelengkapan administrasi. Langkah ini dipimpin Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat, Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin), bersama Menteri Sosial, Saifullah Yusuf (Gus Ipul), dalam rapat koordinasi yang berlangsung di Kantor Kemenko PM, Selasa (19/08/2025).

Keduanya sepakat, akreditasi harus menjadi instrumen untuk mengukur mutu pengasuhan anak sekaligus mendorong peningkatan standar pengelolaan panti. Mekanisme reward and punishment pun dipastikan bakal diterapkan agar pengelola lembaga benar-benar memiliki motivasi memperbaiki layanan.

Menurut Gus Ipul, fakta di lapangan menunjukkan masih banyak Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) yang tak terakreditasi, bahkan lebih dari 2.000 lembaga terindikasi fiktif. Ironisnya, mayoritas anak yang tinggal di panti bukanlah yatim piatu, melainkan masih memiliki salah satu orang tua.

“Kalau akreditasi tidak memberi insentif atau sanksi, orang enggan memperbaiki layanan. Ini yang akan kita ubah,” tegas Gus Ipul, Rabu (20/08/2025).

Kementerian Sosial kini tengah merevisi Peraturan Menteri Sosial agar akreditasi benar-benar berfungsi sebagai jaminan kualitas. Nantinya, lembaga yang melanggar akan dijatuhi sanksi tegas, sementara yang memenuhi standar akan mendapat penghargaan.

Biaya pengasuhan di panti, yang dinilai jauh lebih tinggi dibanding pola pengasuhan berbasis keluarga, juga menjadi perhatian serius pemerintah. Regulasi baru diarahkan agar dana yang terserap benar-benar meningkatkan kesejahteraan anak, bukan hanya mengurus persoalan legalitas semata.

Dalam kesempatan yang sama, Cak Imin menekankan pentingnya transparansi pengelolaan dana filantropi dan bantuan sosial masyarakat. Ia menegaskan bahwa seluruh penyaluran harus berbasis Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) agar distribusi tepat sasaran.

“Seluruh penyaluran bantuan sosial wajib berbasis Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) agar tidak salah sasaran,” ujar Cak Imin.

Selama ini, data kemiskinan tersebar di berbagai kementerian dengan standar berbeda, sehingga menyebabkan ketidaktepatan penyaluran bansos. Kondisi itu bahkan membuat 45 persen bantuan Kemensos dan 82 persen subsidi BBM tidak menyentuh kelompok yang berhak.

Untuk memperbaiki kekacauan data tersebut, Presiden menerbitkan Perpres No. 4/2025 yang menugaskan Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai lembaga utama dalam verifikasi dan validasi data kemiskinan.

Gus Ipul menegaskan, seluruh kementerian harus tunduk pada data yang dihasilkan BPS. “Kalau masing-masing pakai data sendiri, masalah tidak akan selesai. Kritik boleh, masukan boleh, tapi semua harus berbasis BPS,” katanya.

Reformasi sistem akreditasi panti asuhan, perbaikan data bansos, hingga program Sekolah Rakyat menjadi bagian dari strategi besar menuju nol persen kemiskinan ekstrem pada 2026. Gus Ipul menekankan bahwa tujuan ini membutuhkan regulasi kuat, pengawasan konsisten, serta keterlibatan aktif masyarakat.

“Akreditasi panti, digitalisasi bansos, dan Sekolah Rakyat adalah bagian dari strategi besar menuju nol persen kemiskinan ekstrem pada 2026. Semua butuh regulasi yang kuat, pengawasan yang konsisten, serta partisipasi masyarakat,” tegasnya.

Langkah pemerintah ini sekaligus menjadi momentum perbaikan menyeluruh tata kelola kesejahteraan sosial, dengan harapan anak-anak di panti benar-benar mendapatkan hak pengasuhan yang layak dan masyarakat miskin memperoleh bantuan secara tepat. []

Diyan Febriana Citra.

Hotnews Nasional