Menyigi Illegal Mining di Mentawir

Menyigi Illegal Mining di Mentawir

Tambang batu bara di Mentawir, PPU milik PT PPCI ini dipermasalahkan.
Tambang batu bara di Mentawir, PPU milik PT PPCI ini dipermasalahkan.
PENAJAM PASER UTARA – Kasus dugaan pemalsuan dokumen izin usaha pertambangan (IUP) batu bara di Mentawir, Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur (Kaltim) terus bergulir. Di samping proses pidana pemalsuan dokumen, kini mengemuka dugaan illegal mining atau operasi tambang batu bara tak berizin.
Seperti diketahui, setelah permohonan praperadilan mantan Bupati PPU Andi Harahap dikabulkan Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan terkait penetapan dirinya sebagai tersangka oleh penyidik Kepolisian Daerah (Polda) Kaltim, tersangka lain, Eddy Soeratno, meminta penegak hukum tidak tebang pilih menangani kasus tersebut.
Direktur Utama PT Mandiri Sejahtera Energindo (MSE) meminta agar aktivitas PT Paser Prima Coal Indonesia dihentikan. Itu sesuai dengan putusan sela Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta pada pertengahan 2014, yang dikuatkan dengan Mahkamah Agung (MA) Nomor 136/K/TUN/2015 tertanggal 22 April 2015. “Menambang pakai izin apa? Sesuai keputusan pengadilan seharusnya tidak boleh,” kata Eddy, beberapa waktu lalu.
Sementara itu, penyidik Polda Kaltim telah menegaskan bahwa kasus dugaan pemalsuan dokumen itu tetap lanjut. Tersangka Eddy akan diperiksa dalam waktu dekat. Di samping itu, untuk berkas perkara Andi Harahap, sedang dikonsultasikan dengan kejaksaan.
Pada Jumat (26/6), awak media mendatangi lokasi penambangan yang dimaksud Eddy. Putusan PTTUN yang telah dikuatkan MA tampaknya tak cukup sakti menghentikan pertambangan di Mentawir itu. Alat-alat berat dan truk masih beraktivitas mengangkut batu bara dari perut bumi.
Masuk dari Kilo Meter (KM) 38, Samboja, Kutai Kartanegara (Kukar), jalan berlubang dilalui menggunakan kendaraan bak terbuka. Dari persimpangan jalan hauling PT Singlurus dan Bukit Bangkirai, butuh sekitar 10 menit untuk menempuh perjalanan sejauh 16 kilometer agar bisa sampai di areal pertambangan PPCI. “Tidak ada jalan lain, harus lewat jalan hauling ini,” kata pria yang menemani wartawan.
Memasuki areal pertambangan, mobil mulai melambat. Terlihat jelas aktivitas pertambangan. Beberapa truk dan alat berat tampak stand by di workshop. Di sisi yang berbeda, emas hitam dikeruk lalu dimasukkan ke dalam truk. Pria dengan rompi hijau mengatur hilir mudik truk menggunakan bendera merah.
Di dermaga, satu ponton terisi setengah batu bara. Dua kapal tugboat berjejer di samping, salah satunya bertuliskan Capricorn 38 Batam. Seorang operator ekskavator sibuk bekerja di atas tumpukan batu bara, di bawah conveyor yang dicat biru.
Tak jauh dari sana, sekumpulan pekerja asyik bercerita di pos keamanan. Awak media sempat berbincang dengan seorang petugas keamanan. Dia memastikan bahwa batu bara tersebut milik PPCI. “Ya, punya PPCI. Dulu sempat berhenti. Tapi sudah mulai nambang lagi,” terangnya.
Saat ditanya lebih jauh, dia tidak menjawab pasti kapan aktivitas pertambangan itu berjalan. Namun, PPCI diketahui mendapatkan izin usaha pertambangan (IUP) 3 Januari 2014. “Tidak tahu kapan tahun pastinya, yang jelas sempat berhenti nambang,” tuturnya.
Pada 2012, IUP PPCI sempat dicabut oleh Andi Harahap, yang saat itu menjabat bupati PPU. Hal itulah yang kini menjadi polemik hingga keluarnya keputusan tata usaha negara. “Kalau itu (ponton, red) sudah penuh berarti sudah 15 ponton batu bara yang dibawa keluar,” ucap seorang sumber yang identitasnya dirahasiakan.
Direktur Utama PT PPCI Hengky juga menegaskan bahwa areal tersebut merupakan milik perusahaannya. “Iya benar, milik kami,” katanya.
Tapi tuduhan tersangka kasus pemalsuan dokumen IUP batu bara di Mentawir, PPU, dibantah Direktur PT PPCI,  Hengky Wijaya Oey. Hengky mengklaim memiliki izin dan persyaratan pendukung dalam menjalankan aktivitas pertambangan batu bara di kawasan tersebut.
“Saya punya izin, jadi tidak asal menambang. Tidak benar kalau dikatakan ilegal,” kata Hengky kepada wartawan Senin (29/6) lalu.
Dia menjelaskan, izin usaha pertambangan (IUP) yang diterima 3 Januari 2014 merupakan tindak lanjut putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda. Dengan nomor perkara 16/G/2011/PTUN-SMD yang diputuskan pada 16 November 2011.
Juga Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta nomor 30/B/2012/PT.TUN.JKT yang dikeluarkan 30 Maret 2012. Serta putusan Mahkamah Agung (MA) nomor 328/K/TUN/2012 tertanggal 10 September 2012. “Itu menjadi dasar pemerintah mengeluarkan IUP,” terangnya.
IUP yang diklaim dikantongi PPCI seluas 3.964,9 hektare berlaku hingga 2019. Hengky mengungkapkan, sejak 2008 pihaknya sudah mengantongi izin pengangkutan dan penjualan. “Ada semua izinnya kami pegang,” tuturnya.
Jika memang tambang tersebut ilegal, kepolisian tentu tidak akan tinggal diam. “Tidak ada yang kebal hukum. Kalau salah, saya pasti ditangkap. Saya tidak ke mana-mana. Di Balikpapan saja,” tegasnya.
Terkait putusan sela PTTUN Jakarta pada pertengahan 2014, yang dikuatkan MA dengan putusan nomor 136/K/TUN/2015 tertanggal 22 April 2015, Hengky mengaku tidak menerima tembusan. Putusan tersebut diketahui meminta agar aktivitas pertambangan dihentikan sementara. “Saya tidak tahu ada keputusan itu,” pungkasnya.
Sementara itu, kuasa hukum PT PPCI Deni Ramon Siregar menegaskan, kliennya sudah memperoleh izin sejak 14 April 2003. “PPCI juga memenangkan gugatan melawan Menteri Kehutanan tentang izin pinjam pakai Kawasan Hutan Produksi Tetap. Jadi, PPCI-lah yang memiliki izin pinjam pakai di kawasan tambang itu,” kata Deni.  [] KP
Serba-Serbi