BANGKOK – Dunia politik Thailand kembali diguncang setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan mencopot Perdana Menteri (PM) Paetongtarn Shinawatra dari jabatannya, Jumat (29/08/2025). Putusan tersebut menjadi catatan baru dalam sejarah panjang pergantian pemimpin negeri Gajah Putih yang kerap dipicu oleh intervensi yudisial.
Majelis yang beranggotakan sembilan hakim menyatakan Paetongtarn bersalah melanggar etika serius dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan. Kasus ini berawal dari percakapan telepon dengan mantan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, pada Juni 2025 lalu. Dalam komunikasi yang kemudian bocor ke publik, Paetongtarn terdengar menyebut Hun Sen sebagai “paman” dan melontarkan kritik terhadap seorang perwira militer Thailand yang ia nilai sebagai lawan politik.
“Paetongtarn kurang menunjukkan kejujuran dan integritas, serta mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan bangsa,” bunyi putusan Mahkamah Konstitusi.
Dampak dari percakapan tersebut tidak berhenti di ranah etika politik. Ketegangan perbatasan Thailand–Kamboja yang semula terkendali justru meningkat hingga pecah menjadi bentrokan bersenjata selama berhari-hari. Puluhan orang meninggal dunia dan puluhan ribu warga di kedua sisi perbatasan terpaksa mengungsi. Krisis baru mereda setelah Malaysia turun tangan sebagai mediator dan berhasil mempertemukan kedua pihak dalam gencatan senjata pada 29 Juli 2025.
Sebelum keputusan final ini dibacakan, Mahkamah Konstitusi telah lebih dulu menangguhkan jabatan Paetongtarn sejak 1 Juli 2025. Artinya, praktis hampir dua bulan pemerintahan Thailand berjalan dalam situasi politik yang tidak menentu.
Pemberhentian Paetongtarn menambah daftar panjang perdana menteri Thailand yang terjungkal akibat putusan Mahkamah Konstitusi. Sejak 2008, sudah lima kali pemimpin pemerintahan di negeri tersebut diberhentikan lewat mekanisme hukum, menegaskan rapuhnya stabilitas politik Thailand di tengah tarik-menarik kepentingan antara kelompok sipil, militer, dan lembaga yudisial.
Kasus ini juga semakin menyoroti pengaruh keluarga Shinawatra dalam percaturan politik Thailand. Paetongtarn adalah putri dari mantan PM Thaksin Shinawatra, tokoh kontroversial yang baru saja terbebas dari tuduhan penghinaan terhadap monarki. Thaksin sendiri masih menghadapi perkara lain terkait masa hukumannya pada 2023, ketika ia menjalani penahanan di rumah sakit alih-alih di penjara.
Meski demikian, keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap Paetongtarn diperkirakan akan memperkuat perdebatan di dalam negeri. Sebagian kalangan menilai langkah ini sebagai upaya menjaga standar etika pejabat tinggi, sementara pihak lain menilai pemberhentian itu sarat muatan politik dan menjadi bagian dari pola lama melemahkan dominasi keluarga Shinawatra di panggung politik Thailand.
Dengan putusan ini, Thailand kembali memasuki fase transisi kepemimpinan. Publik kini menanti siapa sosok yang akan mengisi kekosongan posisi perdana menteri dan bagaimana pemerintah baru mengelola hubungan luar negeri, khususnya dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. []
Diyan Febriana Citra.