Tarif Impor Trump Dinyatakan Ilegal, Mahkamah Agung Jadi Penentu

Tarif Impor Trump Dinyatakan Ilegal, Mahkamah Agung Jadi Penentu

Bagikan:

WASHINGTON – Putusan penting dijatuhkan oleh pengadilan banding Amerika Serikat pada Jumat (29/08/2025) yang menyatakan sebagian besar tarif impor era Presiden Donald Trump tidak sah secara hukum. Dengan perbandingan suara 7 hakim setuju dan 4 menolak, pengadilan menilai kebijakan tarif yang diumumkan Trump pada April 2025, serta bea masuk terhadap produk dari China, Kanada, dan Meksiko sejak Februari 2025, tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Mayoritas hakim yang menyetujui putusan merupakan hasil penunjukan Partai Demokrat, sedangkan sebagian besar hakim yang menolak berasal dari Partai Republik. Kondisi ini memperlihatkan adanya dimensi politik yang turut mewarnai sengketa hukum terkait kebijakan ekonomi Trump.

Meski begitu, pengadilan tetap mengizinkan tarif berjalan hingga 14 Oktober 2025. Target waktu ini diberikan agar pemerintahan Trump memiliki kesempatan untuk mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Jika banding gagal, maka pilar utama strategi dagang Trump akan goyah.

Bagi Trump, putusan ini adalah pukulan telak. Sejak masa jabatan pertamanya, ia menjadikan tarif sebagai senjata utama dalam diplomasi dagang, terutama dengan negara-negara tetangga dan rival utama, China. Kebijakan tersebut, meski memperkuat posisi tawar AS, turut memicu gejolak di pasar keuangan global.

Trump segera meluapkan kemarahan lewat media sosial pribadinya, Truth Social. “Jika tarif ini dihapuskan, itu akan menjadi bencana besar bagi negara,” tulisnya. Ia pun optimistis Mahkamah Agung akan berpihak kepadanya.

Sebelumnya, Trump berdalih kebijakan tarif memiliki dasar hukum dari Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA) tahun 1977. Namun, pengadilan banding menolak argumentasi tersebut. “Undang-undang ini tidak mencakup kewenangan untuk mengenakan tarif atau pungutan serupa,” bunyi putusan pengadilan.

Dalam sejarah, IEEPA lebih sering dipakai untuk menjatuhkan sanksi ekonomi atau membekukan aset negara lawan. Trump menjadi presiden pertama yang menggunakannya sebagai dasar tarif perdagangan. Menurutnya, langkah itu diperlukan untuk mengatasi defisit dagang, menurunkan ketergantungan impor, hingga mencegah masuknya narkoba lintas batas.

Kalangan pengamat menilai putusan ini sudah diperkirakan. William Reinsch, mantan pejabat Kementerian Perdagangan AS yang kini di Center for Strategic and International Studies (CSIS), menyebut pemerintah telah menyiapkan alternatif. “Mereka menyiapkan Rencana B untuk mempertahankan tarif dengan dasar hukum lain,” katanya.

Pasar keuangan sendiri relatif tenang setelah pengumuman. Aktivitas perdagangan saham tidak menunjukkan gejolak besar. Namun, sejumlah analis menilai ketidakpastian hukum dapat menekan iklim investasi.

“Hal terakhir yang dibutuhkan perusahaan Amerika adalah ketidakpastian perdagangan lebih besar,” ujar Art Hogan, Kepala Strategi Pasar di B. Riley Wealth.

Josh Lipsky dari Atlantic Council menilai putusan ini memperuncing benturan agenda ekonomi Trump dengan Mahkamah Agung. “Belum pernah ada situasi seperti ini sebelumnya,” ujarnya.

Dengan keputusan ini, arah kebijakan ekonomi AS berada di persimpangan. Putusan Mahkamah Agung nantinya tidak hanya menentukan nasib tarif, tetapi juga akan menguji batas kewenangan presiden dalam memanfaatkan undang-undang darurat untuk kepentingan ekonomi. []

Diyan Febriana Citra.

Bagikan:
Hotnews Internasional