LPSK Kumpulkan Data Korban Ricuh, Siapkan Satgas

LPSK Kumpulkan Data Korban Ricuh, Siapkan Satgas

JAKARTA — Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) membentuk satuan tugas (satgas) khusus untuk menangani korban kericuhan dalam aksi demonstrasi yang berlangsung di berbagai daerah pada 28–30 Agustus 2025.

Wakil Ketua LPSK, Wawan Fahrudin, mengatakan satgas tersebut bertugas melakukan pemetaan wilayah, penjangkauan, serta koordinasi dengan berbagai pihak terkait. Hingga Selasa (2/9), LPSK telah memetakan sepuluh wilayah terdampak dan melakukan langkah awal pendampingan.

“Satgas ini memang dibentuk khusus. Tugasnya melakukan pemetaan wilayah, dan sampai hari ini sudah ada sepuluh wilayah yang kita jangkau dan koordinasikan,” ujar Wawan di Jakarta.

Satgas tersebut, lanjut Wawan, terdiri atas penanggung jawab, tenaga ahli, serta perwakilan dari Biro Penelaahan Permohonan dan Biro Pemenuhan Hak Saksi dan Korban. Untuk mempermudah pelaksanaan, tim dibagi ke dalam lima kluster wilayah besar.

Pembagian itu mencakup: Jabodetabek, Banten, dan Jawa Barat; Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT; Jawa Tengah dan DIY; Sulawesi dan Papua; serta Sumatera dan Kalimantan.

Selain pemetaan, LPSK juga tengah menyusun standar operasional prosedur (SOP) penanganan tindak pidana yang muncul dalam peristiwa penyampaian aspirasi masyarakat. SOP ini diharapkan menjadi pedoman bagi satgas dalam memberikan perlindungan hukum maupun pemenuhan hak-hak korban.

“Pemetaan wilayah sudah dilakukan, dan saat ini kami juga mulai menyusun SOP agar pelaksanaan satgas lebih terarah,” kata Wawan.

Ia menambahkan, LPSK telah melakukan koordinasi dengan kepolisian terkait perkembangan penanganan kasus. Berdasarkan informasi, sebanyak 70 orang diamankan dalam kericuhan, dengan 66 di antaranya berstatus ditahan. Para tahanan tersebut sudah mendapat pendampingan hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.

“Beberapa pimpinan juga sudah melakukan penjangkauan langsung, terutama di wilayah Jabodetabek,” jelas Wawan.

LPSK memastikan akan terus melakukan assessment terhadap kebutuhan perlindungan korban, termasuk bantuan hukum maupun pendampingan psikologis. Koordinasi intensif dengan aparat penegak hukum dan lembaga bantuan hukum disebut menjadi kunci untuk memastikan hak-hak korban tetap terpenuhi.[]

Putri Aulia Maharani

Nasional