Usai Unjuk Rasa Agustus, Aktivis Lokataru Ditangkap

Usai Unjuk Rasa Agustus, Aktivis Lokataru Ditangkap

JAKARTA – Penangkapan aktivis HAM sekaligus Direktur Eksekutif Lokataru, Delpedro Marhaen, menuai sorotan publik setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya, Selasa (2/9/2025). Polisi menuduh Delpedro menyebarkan hasutan yang berujung pada kerusuhan dalam gelombang demonstrasi akhir Agustus lalu, termasuk dugaan melibatkan anak di bawah umur.

Selain Delpedro, polisi juga menetapkan seorang staf Lokataru, Mujaffar Salim, sebagai tersangka. Lokataru sendiri merupakan organisasi nirlaba yang berbasis di Jakarta dengan fokus pada isu-isu hak asasi manusia (HAM).

Polisi menyebut penetapan tersangka dilakukan setelah “penyidik menemukan bukti cukup”. Juru Bicara Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam, menyatakan Delpedro tidak hanya mengajak masyarakat berdemo, melainkan juga mendorong tindakan anarkistis. “Ini ajakan hasutan yang provokatif untuk melakukan aksi anarkistis dengan melibatkan pelajar, termasuk anak-anak,” kata Ade Ary.

Meski demikian, aparat belum merinci bentuk hasutan yang dimaksud. Ade Ary hanya menegaskan penyelidikan terhadap Delpedro sudah berlangsung sejak unjuk rasa pertama pada 25 Agustus 2025.

Penangkapan Delpedro berlangsung pada Senin (1/9) malam di kantor Lokataru Foundation, Pulo Gadung, Jakarta Timur. Menurut catatan LBH Jakarta, sekitar sepuluh polisi berpakaian hitam mendatangi lokasi pukul 22.30 WIB. Mereka menunjukkan surat penangkapan dan langsung membawa Delpedro ke Polda Metro Jaya dengan pengawalan enam mobil.

Pihak Lokataru menyebut proses penangkapan berlangsung terburu-buru dan sarat intimidasi. Aktivis itu bahkan sempat dilarang menggunakan telepon genggam serta diminta berganti pakaian dengan nada perintah yang dianggap tidak pantas. Lokataru menilai tindakan aparat melanggar prosedur hukum, terlebih CCTV kantor mereka ikut dirusak saat penggeledahan.

Reaksi keras datang dari Haris Azhar, pendiri Lokataru. Ia menyebut tuduhan polisi sebagai bentuk pengkambinghitaman terhadap pegiat HAM. “Unggahan Lokataru di media sosial tidak bermuatan hasutan. Itu ekspresi yang enggak berbentuk provokasi,” ujarnya. Haris juga menilai langkah aparat sebagai praktik represif yang mengingatkan pada pola lama di masa Orde Baru.

Senada, sosiolog Ubedillah Badrun dari Universitas Negeri Jakarta menyebut tindakan aparat tidak menunjukkan pembelajaran dari kesalahan masa lalu. “Sudah ada rakyat dilindas, aktivis juga ditangkap. Aparat tidak mampu belajar dari kesalahan masa lalu,” katanya.

Tak hanya Delpedro, polisi juga menangkap sejumlah aktivis lain. Di antaranya dua pengacara publik YLBHI di Manado dan Samarinda, serta aktivis Gejayan Memanggil, Syahdan Husein, di Bali. Organisasi masyarakat sipil menilai pola ini berulang setiap kali gelombang unjuk rasa besar terjadi, dengan cara penangkapan mendadak dan proses hukum yang dipertanyakan legalitasnya.

Pengamat politik dari CSIS, Dominique Nicky Fahrizal, menilai penangkapan para aktivis seolah menjadi bagian dari upaya pemerintah menata ulang kekuasaan. “Ini pola mengembalikan ketertiban setelah unjuk rasa besar. Kebetulan mendapat legitimasi lewat pernyataan Presiden Prabowo,” kata Nicky.

Situasi tersebut memunculkan kekhawatiran akan semakin menyempitnya ruang kebebasan sipil di Indonesia. Sejumlah pihak menilai langkah aparat tidak hanya kontraproduktif, tetapi juga bisa mengancam demokrasi dalam jangka panjang.[]

Putri Aulia Maharani

Nasional