DPRD Kaltim Siap Advokasi Bersama Daerah Penghasil

DPRD Kaltim Siap Advokasi Bersama Daerah Penghasil

PARLEMENTARIA – Isu pemotongan Dana Bagi Hasil (DBH) oleh pemerintah pusat hingga 50 persen kembali memantik perdebatan. Kalimantan Timur (Kaltim), yang selama ini menjadi salah satu daerah penyumbang penerimaan negara terbesar melalui sektor sumber daya alam, merasa paling dirugikan jika kebijakan tersebut benar-benar diterapkan.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kaltim, Hasanuddin Mas’ud atau yang akrab disapa Hamas, menyampaikan kekhawatiran itu seusai memimpin Rapat Paripurna ke-34 DPRD Kaltim di Gedung Utama (B), Kantor DPRD Kaltim, Jalan Teuku Umar, Samarinda, Senin (08/09/2025). Menurutnya, keputusan sepihak untuk memangkas DBH akan menambah ketimpangan antara pusat dan daerah.

“Kalau memang pusat sedang kekurangan kas, kenapa justru daerah yang harus diperas. Padahal DBH itu sudah ada ketentuannya, dan itu hak daerah. Kalau sampai dipotong setengah, tentu kami sangat keberatan,” tegas Hamas.

Hamas menilai pembagian DBH saat ini tidak memberikan proporsi yang wajar bagi daerah penghasil. Selama ini Kaltim hanya menerima sekitar lima persen dari pendapatan yang disumbangkannya. Jumlah itu masih berpotensi berkurang karena mekanisme pencairan sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah pusat.

“Selama ini Kaltim sebagai daerah penghasil hanya menerima sekitar 5 persen. Itu pun masih ada potensi dipotong. Tentu sistem ini sangat tidak adil bagi daerah yang berkontribusi besar. Pemerintah pusat seharusnya lebih bijak dalam mengelola penerimaan dan pembagiannya,” jelasnya.

Hamas menekankan bahwa DBH bukan hibah atau bantuan, melainkan hak yang sudah dijamin regulasi. Pemangkasan sepihak dinilai bertentangan dengan prinsip keadilan fiskal yang seharusnya menjadi dasar hubungan antara pusat dan daerah.

Dalam pernyataannya, Hamas mengajukan usulan agar pembagian DBH dilakukan dengan cara yang lebih transparan. Menurutnya, dana untuk daerah seharusnya langsung dipotong di wilayah penghasil, sebelum sisanya masuk ke kas pusat.

“Harusnya porsi daerah dipotong langsung di sini dulu. Misalnya lima persen untuk daerah, sisanya silakan masuk ke pusat. Dengan begitu, hak daerah terlindungi sejak awal. Kalau modelnya seperti sekarang, semua masuk ke pusat dulu, lalu dibagi lagi, seringkali saat pusat defisit, daerah yang jadi korban pemangkasan,” ujarnya.

Ancaman pemangkasan DBH hingga 50 persen dikhawatirkan akan mempersempit ruang fiskal daerah. Hal ini berimplikasi langsung pada berbagai program pembangunan di Kaltim. “Banyak program pembangunan bisa terhambat. Kita tahu APBD Kaltim sebagian besar disokong dari DBH dan transfer pusat. Kalau sampai dipotong setengah, otomatis ruang fiskal daerah semakin sempit. Pembangunan infrastruktur, layanan publik, dan program sosial bisa terganggu,” katanya.

Menurut Hamas, persoalan ini tidak hanya berdampak pada Kaltim, melainkan juga daerah penghasil lain di Indonesia. Daerah-daerah tersebut seharusnya mendapat alokasi lebih besar sebagai kompensasi atas kontribusi sumber daya alamnya.

Hamas juga mendesak pemerintah pusat agar membuka data fiskal secara transparan. Keterbukaan ini diperlukan agar daerah memahami kondisi keuangan negara dan bisa menyiapkan langkah antisipatif. “Seringkali meskipun DBH sudah jelas menjadi hak daerah, pencairannya tetap tergantung kondisi fiskal pusat. Kadang ditunda, kadang dipotong. Ini membuat daerah kesulitan menyusun program secara konsisten. Jadi, pusat perlu lebih terbuka dan jujur, supaya daerah juga bisa menyesuaikan,” ucapnya.

DPRD Kaltim, menurut Hamas, tidak akan tinggal diam. Mereka akan mengawal isu ini bersama pemerintah provinsi dan menjalin advokasi dengan daerah penghasil lainnya. Upaya kolektif dinilai penting agar tercipta sistem pembagian yang lebih adil. “Ini bukan hanya soal Kaltim, tapi menyangkut kepentingan seluruh daerah. Kami berharap ada langkah bersama, baik melalui jalur politik maupun hukum, agar daerah penghasil tidak terus dirugikan,” pungkasnya.

Dengan kondisi fiskal pusat yang masih menantang, isu DBH diperkirakan akan menjadi agenda utama dalam diskusi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam waktu dekat. Bagi Kaltim, kejelasan mekanisme pembagian DBH sangat krusial untuk menjamin kelanjutan pembangunan dan menjaga stabilitas anggaran daerah. []

Penulis: Muhammaddong | Penyunting: Agnes Wiguna

Advertorial DPRD Kaltim