Irasionalitas Politik Kukar

Irasionalitas Politik Kukar

Anomali Negeri Anomali, Irasionalitas Politik Dalam Fakta Demokrasi Kukar

Kabupaten Kutai Kertanegara (Kukar), Kalimantan Timur (KaltiM) memang sebuah fenomena manakala kita melihat besaran angka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)-nya yang sangat fantastis.

Oleh Max Donald Tindage
Oleh Max Donald Tindage

Namun bila kita mencermati fakta sejarah negeri ini dalam hal birokrasi pemerintahan pasca reformasi, maka kita patut mengatakan bahwa negeri yang kaya sumber daya alam ini juga merupakan sebuah negeri yang memiliki fakta sejarah unik dan mampu menjungkirbalikkan berbagai teori teori politik yang normal pada umumnya.

Berbagai anomali atau ‘keanehan yang wajar’ kerap menghiasi ruang politik di daerah ini dan membutuhkan penelitian lebih mendalam terhadap berbagai fenomena yang ada .

Sebuah daerah yang namanya selalu dikaitkan dengan Kerajaan Kutai, cikal bakal tonggak sejarah Hindu di Indonesia, padahal masih ada mata rantai sejarah yang perlu juga dipublikasikan terkait keberadaan kerajaan Kutai lainnya pada abad ke-13 yang berpusat di Kutai Lama dan pada akhirnya kedua kerajaan itu dipersatukan pada abad ke-16 oleh Pangeran Aji Sinum Mendapa menjadi Kutai Kertanegara ing Martadipura. Dan informasi penting lainnya kepada publik tentang perubahan pada tatanan religius, manakala terjadi eksodus besar besaran dari keyakinan Hindu ke keyakinan Islam, setelah kedatangan seorang Tunggang Parangan dan pada akhirnya kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura berubah menjadi Kesultanan Kutai.

Pergeseran nama yang membuktikan telah terjadi perubahan dalam sistem pemerintahan dan kenegaraan, dari pengaruh Hindu (kerajaan) menjadi pengaruh Islam (kesultanan = keratonan).

Fenomena yang semakin menjungkirbalikkan tatanan teori politik pun turut menghiasi keunikan daerah ini.

Kita bisa melihat dengan jelas bahwa pusat perdebatan, pertikaian, pembicaraan dan penyelesaian masalah politik hanya terpusat di satu titik yaitu Kota Tenggarong, sedangkan di kecamatan lainnya hampir tidak terdengar sedikitpun gejala politik yang mampu membentuk kekuatan yang bisa turut serta dalam permainan politik di kabupaten ini .

Hal ini jualah yang seringkali membuat kalkulasi politik para politisi menjadi keliru manakala menghitung dan menyusun strategi pemenangan baik dalam pemilihan legislatif maupun pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan hanya mengandalkan karakteristik pemilih di Kota Tenggarong saja, karena setiap daerah pemilihan (dapil) memiliki karakteristik yang unik dan berbeda satu sama lainnya .

Penyimpangan dari teori juga bisa terlihat manakala pada periode pemerintahan tahun 2005 sampai 2010, Kutai Kartanegara menjadi daerah kabupaten pertama yang melaksanakan Pilkada langsung oleh rakyat dan terpilihnya pasangan Syaukani HR dan Samsuri  Aspar sebagai pasangan Bupati dan wakil pertama di Indonesia melalui proses Pilkada langsung kala itu.

Namun sejarah juga menceritakan bahwa pada kurun waktu 5 tahun, daerah ini justru mengalami pergantian kepala daerah (KDH) dan Ketua DPRD secara luar biasa pula dalam satu periode pemerintahan.

Sejak dilantik pada tahun 2005, Bupati terpilih Syaukani HR kemudian diganti oleh Syamsuri, lalu pelaksana tugas Sekretariat Kabupaten (Sekkab) Aswin. Kemudian Penjabat (Pj) Bupati Sachrudin dan terakhir Sulaiman Gafur sebagai Pj Bupati.

Sementara di puncak kepemimpinan DPRD 2004-2009, Bachtiar Effendy lalu digantikan oleh Rahmat Santoso, selanjutnya Salehudin. Dan pada periode 2009 – 2014 terjadi beberapa kali perubahan dari Rita Widyasari ke Salehudin, lalu berganti lagi dengan Awang Jacoub Luthman dan kembali lagi ke  Salehudin. Banyaknya pergantian tersebut menunjukkan bahwa dinamika politik di Kukar berkembang secara dinamis, meskipun terlihat adem ayem saja seusai karakter budaya politiknya.

Sebagai sebuah kabupaten yang berada di bibir lembah Sungai Mahakam, maka sebagaimana aliran arus sungai yang selalu bergerak teratur dari hulu ke hilir, sementara itu gerakan gelombang permukaan sungai yang hanya dipengaruhi oleh hembusan angin yang juga teratur dan konstan setiap harinya, maka karakter budaya politik masyarakatnya juga hampir mirip dengan karakteristik alamnya, dimana penduduknya banyak berdiam di pinggiran sungai.

Karakter politik di Kukar seharusnya cukup teratur dan tenang, mudah terbaca arah aliran darimana kemana dan juga selalu tetap. Gelombang politikpun  nampak terlihat laksana tiupan angin yang menciptakan gelombang Sungai Mahakam, jelas berasal dari mana berhembusnya dan kemana arah hembusannya , karena selalu terpusat di Kota Tenggarong .

Namun di balik semua anggapan itu, kita bisa melihat dan terperangah dengan dinamika politik di daerah ini yang sangat dinamis tersebut. Itu bisa terjadi karena di balik karakter yang kelihatannya mudah terbaca, teratur dan konstan, ternyata membuat orang lengah dan tidak menyadari betapa keras dan kuatnya persaingan politik yang ada.

Saat ini, menjelang Pilkada untuk memilih KDH, mulai terlihat kasak kusuk dan adu strategi untuk memenangkan kandidat pilihan masing-masing. Dan di tengah pusaran, telah berhentinya KDH definitif pilihan rakyat yaitu Rita Widyasari dan wakilnya Ghufron Yusuf pada 30 Juni 2015 lalu, dan seharusnya disikapi dengan penunjukan Penjabat Bupati oleh Menteri Dalam Negeri. Sekarang, pimpinan tertinggi di Pemerintah Kabupaten Kukar dipegang Edi Darmansyah selaku pelaksana tugas Bupati Kukar. Uniknya, Edi Darmansyah adalah calon wakil Bupati Kukar yang berpasangan dengan Rita Widyasari dalam Pilkada 9 Desember 2015 nanti.

Publik tersentak kaget, manakala Rita Widyasari sang petahana dan memiliki kekuatan dan dukungan politik luar biasa itu melalui Partai Golkar yang dipimpinnya dan berhasil menempatkan 19 kader Golkar di DPRD Kukar, justru telah mulai melakukan tahapan pendaftaran lewat jalur perseorangan, mengingat belum adanya kejelasan Partai Golkar dalam hal dukungan pada Pilkada nanti.

Kisruh berujung dualisme kepemimpinan yang tak berujung di tingkat nasional dalam tubuh Golkar membuat sang petahana ini bersikap mengantisipasinya dengan mendaftarkan diri melalui jalur perseorangan .

Dan kita semua kembali dikagetkan dengan dinamika politik yang berkembang pasca keputusan Rita Widyasari mendaftarkan dirinya untuk maju melalui jalur perseorangan, sekalipun belum final hingga tiba saat pendaftaran pada 26-28 Juli 2015 mendatang.

Partai-partai politik yang memiliki kursi di DPRD Kukar dan berhak untuk mengusung atau berkoalisi untuk mencukupkan batas syarat pengusungan, seharusnya menyikapi sikap dan keputusan Rita Widyasari secara rasional. Bahwa dengan mendaftarkan diri melalui jalur perseorangan, maka tertutup juga pintu pengusungan lewat jalur parpol, kendatipun dukungan parpol tidak dilarang  dalam peraturan perundangan.

Rita saat daftar

Namun di sisi lain, secara teori politik, seharusnya supremasi kekuatan politik parpol dalam menjaga kedaulatan politiknya itu akan mengalihkan arah dukungan politik, karena keberadaan parpol sebagai pengusung pada faktanya tidak dipakai dalam memenuhi syarat menjadi pasangan calon KDH. Dan sudah pasti gengsi dan kehormatan parpol akan menjaga kewibawaannya dan tidak merengek rengek lagi memaksakan diri dalam memberikan dukungan yang justru secara konkrit telah tidak dibutuhkan oleh Rita Widyasari.

Namun dinamika yang berkembang pasca mendaftarnya Rita Widyasari melalui jalur perseorangan itu menunjukkan suatu kondisi yang tidak rasional, karena partai partai politik yang punya kursi di DPRD Kukar masih saja berharap dan menginginkan untuk turut serta dalam gerbong suksesi Rita Widyasari, karena menganggap bahwa laju kereta pemenangan sudah tidak terkejar dan pasti tiba di tujuan akhir yang dikehendaki setelah hari penentuannya tiba.

Inilah fakta suatu irasionalitas politik dalam helat demokrasi di Kukar, suatu fakta politik yang jarang terjadi dimanapun di negeri ini, apalagi untuk level kabupaten. Jika kita memahami bahwa rekomendasi penunjukan parpol untuk mengusung pasangan calon untuk Pilkada KDH itu kewenangannya ada di pengurus pusat, masing masing dan ditandatangani oleh ketua ketua umum parpol.

Suatu fenomena yang fenomenal mana kala pada level nasional pun dukungan terhadap Rita Widyasari tetap dikuatkan karena alasan yang memenuhi akal sehat jika menghitung kekuatan Rita Widyasari pada Pilkada nanti. Padahal biasanya kewibawaan partai pasti terusik oleh kenyataan seperti ini karena di dalam politik yang demokratis, tidak ada kemutlakan dan kepastian bagi seseorang untuk menang sebelum hasil akhir ditentukan. Wibawa dan gengsi parpol biasanya selalu terjaga bila fakta politik telah jelas memperlihatkan, bahwa parpol tidak diharapkan oleh seseorang untuk menjadi pengusung dalam memenuhi syarat.

Dinamika politik dalam hitungan waktu tinggal beberapa hari ini semakin menguat dan mengental untuk tetap mengusung  Rita Widyasari yang nota bene telah mendaftarkan dirinya untuk maju melalui jalur perseorangan.

Tapi itulah politik, yang mana dinamikanya selalu bergerak dinamis tanpa peduli dengan rasionalitas politik itu sendiri tapi lebih kepada rasionalitas dalam mencapai tujuan akhir yaitu kemenangan, atau setidaknya ikut serta dalam gerbong pemenang .

Situasi dan kondisi politik inilah yang pada akhirnya membentuk dan menciptakan suatu tatanan politik yang tidak stabil, selalu gonjang ganjing dan gaduh dalam ‘diam’.

Kekecewaan mulai bermunculan manakala perhelatan telah berakhir dan para pengusung yang tidak diharapkan tadinya itu justru merasa ditinggalkan , merasa diabaikan dalam pengambilan kebijakan saat kandidatnya berkuasa.

Tidak adanya keberanian dalam menjaga wibawa parpol justru akan melahirkan keberanian ‘diam-diam’ dalam menumpahkan perasaan gundah, kecewa dan sedih karena merasa terabaikan itu dengan mencari cari kelemahan dari KDH yang justru dielu-elukannya saat Pilkada itu.

Dan pada akhirnya keseimbangan pemerintahan akan terganggu oleh ombak-ombak kecil dalam upaya saling menjatuhkan dengan berbagai macam cara yang tidak lazim bagi kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Tetapi begitulah kenyataan kehidupan politik yang tidak ada kelaziman di dalamnya .

Fakta sejarah ketika periode kepemimpinan di Kukar 2005 -2010 lalu, telah memperlihatkan kepada kita betapa tidak stabilnya tatanan kekuasaan politik akibat irasionalitas politik dalam bersikap.

Rasionalitas yang hanya mempertimbangkan faktor hasil akhir pada akhirnya akan bergulir terus dan menjadi tradisi yang membudaya untuk terus menerus mengkristal pada budaya saling sikut dan saling menjatuhkan yang pada akhirnya berujung pada lambannya proses pembangunan karena konsentrasi kekuasaan harus terbagi dengan upaya mengantisipasi manuver manuver politik dalam trik dan intrik yang berusaha menjatuhkan satu sama lain .

Ketegasan bersikap harusnya ditunjukkan sejak awal saat melakukan lobi lobi politik dalam hal pengusungan kandidat KDH dan ketika fakta telah ditetapkan dalam sebuah pilihan yang jelas maka sikap ksatria dalam oposisi/koalisi seharusnya dipertontonkan secara wajar dan logis dengan mengusung pihak lain misalnya, karena tidak ada kemutlakan dalam kepastian menang bagi seseorang dalam Pilkada.

Mari kita sama sama menyikapi hal ini sebagai catatan penting untuk melihat saat saat kedepannya nanti, jika irasionalitas ini terus berlanjut dalam upaya pengusungan dan dukungan ini ke arah Rita Widyasari, apakah keseimbangan pemerintahan manakala Rita Widyasari menjadi pemenang , akan terjaga dengan baik ataukah seperti prediksi diatas nanti, akan terjadi guncangan ‘diam diam’ kekecewaan oleh mereka yang merasa sebagai pengusung maupun pendukung padahal secara politik dukungan itu tidak berarti apa-apa lagi sehingga rasa terabaikan itu seharusnya tidak boleh ada di benak pendukungnya.

Kecuali memang dukungan itu terbangun oleh niat tulus untuk ikut serta membangun negeri tercinta ini, maka kesejahteraan masyarakat Kukar tinggal soal waktu saja, mengingat besarnya anggaran yang dimiliki kabupaten Kukar ini sangat meyakinkan .

Mari kita amati bersama fenomena yang muncul dan selalu ada di negeri ini terkait kehidupan politik dan demokrasi , berbagai anomali di negeri anomali ini niscaya hanya merupakan  suatu ciri dari daerah ini yang pada akhirnya semuanya hanya merupakan ‘bumbu penyedap’ dalam dapur Demokrasi, untuk kedepannya melahirkan pemimpin dan pemerintahan yang stabil dalam kebersamaan membangun negeri . []

Serba-Serbi