PARIS – Gelombang protes baru di Prancis kembali menguji stabilitas politik dan sosial negeri itu. Gerakan bernama “Blokir Semuanya” atau Bloquons tout mulai melakukan aksi pemblokiran jalan raya di sejumlah wilayah pada Rabu (10/09/2025) pagi waktu setempat. Aksi tersebut memicu gangguan lalu lintas, memaksa aparat keamanan bergerak cepat, dan berujung pada penangkapan puluhan demonstran.
Gerakan ini pertama kali dikenal luas melalui media sosial sepanjang musim panas tahun ini. Para analis membandingkannya dengan fenomena “Rompi Kuning” yang mengguncang Prancis pada 2018. Jika kala itu pemicu awalnya adalah kenaikan harga bahan bakar, kini protes “Blokir Semuanya” lebih menyoroti ketidakpuasan publik terhadap sistem politik yang dianggap gagal menjawab tuntutan masyarakat.
“Para anggota gerakan ini menilai sistem politik tidak lagi sesuai dengan tujuannya,” tulis laporan Reuters. Dari sisi dinamika politik, gerakan ini juga menarik perhatian karena awalnya muncul di kalangan sayap kanan, lalu diadopsi kelompok sayap kiri dan bahkan kiri jauh.
Menteri Dalam Negeri Prancis, Bruno Retailleau, mengungkapkan bahwa aksi sempat berlangsung di Bordeaux, di mana sekitar 50 orang dengan penutup kepala mencoba memblokir akses jalan. Sementara di Toulouse, insiden kebakaran kabel sempat mengganggu jalur transportasi meski cepat dipadamkan. “Kita berisiko mengalami mobilisasi yang akan mengarah pada aksi-aksi di seluruh negeri,” kata Retailleau, mengingatkan potensi meluasnya protes.
Di Paris sendiri, aksi serupa juga terjadi pada malam sebelumnya, meski tidak dirinci lebih jauh oleh pemerintah. Kepolisian Paris dalam pernyataannya menyebut 75 orang ditangkap dalam rangkaian unjuk rasa tersebut. Operator jalan raya Vinci turut melaporkan adanya gangguan lalu lintas akibat protes di berbagai kota besar seperti Marseille, Montpellier, Nantes, dan Lyon.
Untuk mengantisipasi kemungkinan meluasnya protes, pemerintah Prancis menurunkan 80.000 personel keamanan di seluruh negeri, termasuk 6.000 personel khusus di wilayah ibu kota. Media lokal bahkan memperkirakan sekitar 100.000 orang akan ikut serta dalam gelombang aksi ini.
Protes “Blokir Semuanya” muncul pada saat yang krusial bagi pemerintahan Emmanuel Macron. Hanya dua hari sebelumnya, parlemen menjatuhkan Perdana Menteri Francois Bayrou melalui mosi tidak percaya. Presiden Macron kemudian menunjuk Sebastien Lecornu sebagai perdana menteri baru, menjadikannya kepala pemerintahan kelima hanya dalam kurun waktu kurang dari dua tahun.
Situasi ini menegaskan betapa rapuhnya kondisi politik Prancis saat ini. Dengan kombinasi pergolakan elit politik dan tekanan massa di jalanan, pemerintah Macron menghadapi tantangan besar untuk menjaga stabilitas, baik dari sisi kebijakan maupun legitimasi di mata publik. []
Diyan Febriana Citra.