ADVERTORIAL – Ketegangan terkait proyek strategis nasional (PSN) Bendungan Marangkayu semakin memuncak. Masyarakat yang merasa haknya terabaikan selama belasan tahun mengancam akan merobohkan bendungan tersebut. Ancaman itu muncul akibat ganti rugi atas lahan, rumah, dan tanaman tumbuh yang tak kunjung dibayarkan pemerintah.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kutai Kartanegara (Kukar), Ahmad Yani, menilai persoalan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Ia menegaskan perlunya langkah konkret dari pemerintah dan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) agar hak masyarakat segera terpenuhi.
“Bendungan itu kan proyek strategis nasional yang terhambat oleh masalah Hak Guna Usaha (HGU) dan hak-hak masyarakat atas lahan, khususnya terkait pembayaran ganti rugi tanaman tumbuh dan rumah warga. Perlunya solusi konkret agar pembayaran dapat segera dilakukan tanpa memperpanjang konflik,” kata Yani, Selasa (26/08/2025).
Legislator PDIP itu menjelaskan bahwa penerbitan HGU di kawasan bendungan justru tidak sesuai prosedur. Ironisnya, lahan yang diakui dalam HGU tidak dikelola pemegang izin, melainkan oleh masyarakat setempat.
“Ditemukan bahwa penerbitan HGU tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, bahkan lahan yang dimaksud tidak ditanami oleh pemegang HGU, melainkan oleh masyarakat,” jelasnya.
Yani menegaskan bahwa solusi yang ditawarkan DPRD adalah pembayaran ganti rugi dilakukan langsung oleh pemegang HGU, yakni PT Perkebunan Nusantara. DPRD Kukar berkomitmen untuk mengawal penyelesaian ini demi kepentingan masyarakat.
“Segera kita koordinasi dengan pemegang HGU dan masyarakat untuk mekanisme pembayaran ganti rugi melalui pemegang HGU. Kami juga harap Balai Wilayah Sungai menyiapkan skema pembayaran yang sesuai dengan solusi yang diusulkan. Solusinya yaitu pembayaran oleh pemegang HGU,” tegasnya.
Di sisi lain, masyarakat Marangkayu sudah kehilangan kesabaran. Dari total 615 hektare lahan yang dibutuhkan untuk pembangunan bendungan, baru 79 hektare yang dibebaskan. Selama belasan tahun, warga harus merelakan sawah dan rumah mereka terendam tanpa kepastian ganti rugi.
Nina Iskandar, salah seorang perwakilan warga, menyatakan bahwa konsolidasi besar akan digelar pada Rabu 27 Agustus 2025 sebagai persiapan pembongkaran bendungan.
“Beberapa hari ini masyarakat kita semua menyiapkan alat dan unit untuk aksi tersebut, jadi Rabu kita geser semua alat. Sedangkan untuk aksi pembongkaran itu kemungkinan kalau ga Sabtu ya Minggu. Kami sudah siapkan lima excavator 10 unit alkon penyedot air dan beberapa chainsaw. Kami sudah tutup pintu mediasi,” ujarnya.
Ketegangan ini menjadi alarm keras bagi pemerintah agar segera bertindak. Tanpa kepastian ganti rugi, ancaman pembongkaran bendungan berpotensi menjadi aksi nyata yang akan berdampak luas bagi proyek strategis nasional tersebut. []
Penulis: Eko Sulistiyo | Penyunting: Agnes Wiguna