JAKARTA – Penempatan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun di bank-bank Himbara kembali menjadi sorotan publik. Meski menuai perdebatan, DPR RI melalui Ketua Badan Anggaran (Banggar) Said Abdullah menegaskan bahwa langkah Kementerian Keuangan tersebut tidak menyalahi aturan hukum.
Menurut Said, dasar hukum kebijakan ini sudah jelas termuat dalam Undang-Undang APBN Tahun 2025 Pasal 31 ayat 2 dan 3. Aturan itu memberikan kewenangan kepada bendahara negara untuk mengelola dana saldo anggaran lebih (SAL) dengan menempatkannya tidak hanya di Bank Indonesia, tetapi juga pada lembaga tertentu yang telah diatur.
“Sehingga penempatan Rp 200 triliun itu bagi DPR no issue. Clear kalau dari sisi DPR, landasan hukumnya ada. Bukan tidak ada landasan hukumnya. Dari mana? Dari Undang-Undang APBN Tahun 2025, Pasal 31 ayat 2 dan ayat 3,” ujar Said di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (18/09/2025).
Namun, Said menekankan bahwa Banggar DPR tidak hanya berhenti pada aspek legalitas. Baginya, yang lebih penting adalah bagaimana kebijakan tersebut berdampak nyata pada perekonomian nasional.
“Justru isunya bagi DPR adalah Rp 200 triliun itu agar mampu meningkatkan produktivitas, daya beli, sehingga ekonomi bisa tumbuh,” katanya.
Kebijakan penempatan dana ini sendiri tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan tujuan utama langkah ini adalah memperkuat likuiditas perbankan agar penyaluran kredit semakin luas, terutama ke sektor produktif. Lima bank Himbara yang menerima dana adalah Bank Mandiri, BNI, BRI, BTN, dan Bank Syariah Indonesia (BSI).
“Dana Rp 200 triliun masuk ke sistem perbankan hari ini. Bank mungkin sempat bingung menyalurkannya ke mana, tapi nanti pelan-pelan akan dikredit sehingga ekonomi bisa bergerak,” kata Purbaya pada Jumat (12/09/2025).
Meski sudah ditegaskan legal, muncul pertanyaan dari publik: seberapa cepat dana ini bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, khususnya pelaku UMKM dan sektor riil? Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa ketersediaan likuiditas di bank tidak otomatis berbanding lurus dengan penyaluran kredit yang masif.
Dari sudut pandang DPR, tantangan terbesar bukanlah legitimasi hukum, melainkan memastikan Rp 200 triliun tersebut benar-benar digelontorkan ke sektor produktif. Jika tidak diarahkan dengan tepat, dana tersebut berisiko hanya mengendap di bank tanpa kontribusi signifikan pada perekonomian.
Dalam situasi ekonomi global yang masih diliputi ketidakpastian, pemerintah memang membutuhkan instrumen fiskal yang fleksibel. Penempatan dana ini diharapkan dapat menjadi salah satu motor pertumbuhan, memperkuat daya beli masyarakat, sekaligus menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional. []
Diyan Febriana Citra.