NATO Vs Rusia, Mampukah Aliansi Bertahan di Era Perang Drone?

NATO Vs Rusia, Mampukah Aliansi Bertahan di Era Perang Drone?

JAKARTA – Kemunculan drone tempur Rusia di langit Eropa kembali memicu kekhawatiran serius. Dalam sepekan terakhir, sejumlah insiden pelanggaran wilayah udara dialami negara anggota NATO di kawasan timur.

Pada malam 9–10 September lalu, sebanyak 19 unit drone Rusia terdeteksi memasuki wilayah udara Polandia. Beberapa berhasil ditembak jatuh, sementara sisanya kembali melintas ke arah perbatasan. Hanya beberapa hari berselang, Rumania juga melaporkan insiden serupa.

Terbaru, pada Senin (15/9), sebuah drone berhasil ditembak jatuh ketika melintas di atas gedung pemerintah di Warsawa. Polisi Polandia menahan dua tersangka terkait peristiwa itu, masing-masing warga Belarus dan Ukraina.

Meskipun tidak ada korban jiwa, rangkaian insiden ini membuat NATO meningkatkan kewaspadaan. Aliansi itu resmi meluncurkan Operasi Eastern Sentry, sebuah misi penguatan pertahanan di kawasan timur.

“Aktivitas multidomain” ini mencakup pengerahan jet tempur, rudal pertahanan udara, serta penguatan pangkalan darat. Inggris, Denmark, Jerman, dan Prancis telah menyatakan dukungan dengan mengirim tambahan pesawat tempur ke Polandia.

Namun, penggunaan jet tempur untuk menjatuhkan drone memunculkan kritik. Chris Kremidas-Courtney, pakar pertahanan dari European Policy Centre di Brussel, menilai cara tersebut tidak efisien. “Drone yang kita lihat di Ukraina harganya hanya 10 ribu sampai 30 ribu Euro per unit.

Tapi kalau kita menembakkan rudal seharga jutaan dolar sebagai respons, stok senjata kita akan cepat habis. Kita memakai palu godam untuk menghantam paku payung,” ujarnya kepada DW.

Sebagai alternatif, sejumlah negara Eropa mendorong pengembangan sistem pertahanan anti-drone yang lebih hemat biaya, seperti teknologi Nimbrix buatan Swedia. Selain itu, konsep “tembok drone” juga mengemuka, didukung Polandia, Finlandia, serta negara-negara Baltik.

Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen bahkan menjadikan istilah ini sebagai bagian dari pidato kenegaraan, dan Uni Eropa mengalokasikan dana 6 miliar Euro untuk proyek produksi drone bersama.

Di sisi lain, NATO menegaskan akan memberikan respons atas setiap pelanggaran yang terjadi. Admiral Rob Bauer, mantan ketua Komite Militer NATO, menekankan pentingnya kesiapan publik menghadapi ancaman baru ini. “Ini pesan penting untuk Tuan Putin: NATO akan merespons, apa pun yang terjadi,” ujarnya.

Meski demikian, sejumlah pakar masih meragukan kesiapan NATO dalam menghadapi serangan drone. Ian Bond dari Centre for European Reform menilai sikap pasif beberapa negara justru memberi sinyal keliru kepada Rusia. “Kesan yang muncul, NATO belum siap menghadapi drone. Mereka harus meningkatkan kemampuan secara signifikan,” katanya.

Selain memperkuat pertahanan udara, perlindungan sipil juga disebut sebagai aspek penting. Bond menyarankan adanya sistem peringatan dini serta fasilitas perlindungan yang memadai. Menurutnya, Rusia kemungkinan akan terus menguji NATO hingga aliansi benar-benar menunjukkan ketegasan.[]

Putri Aulia Maharani

Hotnews Internasional