JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menuai sorotan setelah jumlah kasus keracunan terus bertambah signifikan. Data terbaru mencatat sebanyak 5.626 kasus keracunan tersebar di puluhan kabupaten dan kota di 16 provinsi. Kondisi ini menimbulkan keresahan masyarakat serta memunculkan dua opsi: menghentikan sementara untuk evaluasi menyeluruh atau mengalihkan anggaran MBG ke sektor pendidikan.
Hingga akhir Juni lalu, tercatat 1.376 anak mengalami keracunan akibat MBG. Namun dalam kurun tiga bulan, jumlah itu melonjak hampir empat kali lipat. Pada pertengahan September, kasus terbaru bahkan menimpa lebih dari 300 siswa di Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, serta 569 anak di Garut, Jawa Barat.
Founder CISDI, Diah Saminarsih, menyebut keracunan MBG ibarat fenomena puncak gunung es. Ia menilai jumlah sebenarnya bisa jauh lebih banyak karena pemerintah belum menyediakan sistem pelaporan terbuka. “Demi mencapai target yang sangat masif itu, program MBG dilaksanakan secara terburu-buru sehingga kualitas tata kelola penyediaan makanan hingga distribusinya tidak tertata dengan baik,” ujarnya, Minggu (21/9).
Di lapangan, sejumlah orang tua juga mengaku trauma. Lina (42), warga Makassar, menilai menu MBG kerap tidak sesuai standar gizi. “Contoh saja anak saya diberi menu burger, yang lebih sering disebut junk food. Saya juga tidak tahu apakah nilai gizinya ada seperti yang disebut takaran gizinya,” tuturnya. Ia bahkan mengusulkan anggaran MBG lebih baik dialihkan untuk pendidikan gratis.
Sementara itu, Azizah (35) dari Gowa menganggap MBG bisa bermanfaat jika dijalankan dengan perencanaan matang. Namun ia mengkritik banyaknya makanan terbuang karena menu tidak sesuai selera siswa. Hal serupa disampaikan Pras (40) asal Batang, Jawa Tengah, yang menilai distribusi MBG sering terlambat sehingga makanan basi.
Kepala BGN, Dadan Hindayana, menyatakan pihaknya telah membentuk Satgas Kejadian Luar Biasa (KLB) dan melakukan evaluasi di lokasi terdampak. Ia mengakui adanya masalah seperti pergantian pemasok bahan makanan tanpa pengawasan ketat hingga distribusi yang tidak efektif. “Pergantian supplier pun tampaknya harus dilakukan dengan seksama. Tidak boleh sekaligus berpindah, jadi harus dilakukan bertahap,” jelasnya.
Meski demikian, suara publik semakin kuat mendorong penghentian sementara MBG. Selain risiko kesehatan, transparansi penggunaan anggaran juga dipertanyakan. Dengan dana mencapai Rp335 triliun dari APBN pendidikan, banyak pihak menilai peruntukan lebih tepat jika dialihkan untuk memperkuat akses pendidikan gratis.[]
Putri Aulia Maharani