JAKARTA – Pemerintah resmi mengajukan revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada DPR pada Selasa (23/9). Perubahan beleid yang baru berusia tujuh bulan ini menimbulkan kritik dari kalangan pengamat, terutama karena revisi tersebut berkaitan langsung dengan keberadaan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara atau Danantara.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Asri Widayati, menilai pembentukan Danantara sejak awal dilakukan terburu-buru tanpa peta jalan yang jelas. Ia menyoroti rangkap jabatan yang masih marak, di mana sejumlah pimpinan Danantara juga menjabat sebagai menteri. “Sejak awal Danantara itu tergesa-gesa. Pembentukannya tidak punya seperti peta jalan atau apa pun sehingga memang belum ada tata cara yang digunakan,” ujarnya.
Asri menilai rencana revisi UU BUMN yang baru seumur jagung terkesan performatif. Ia mencontohkan kebijakan rangkap jabatan yang sebenarnya sudah lama menjadi sorotan, namun tidak diselesaikan secara substansial. Selain itu, investasi yang dilakukan Danantara juga dinilai berisiko tinggi. Beberapa keputusan, seperti suntikan dana triliunan rupiah kepada PT Garuda Indonesia dan PT Chandra Asri, menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi serta akuntabilitas lembaga tersebut.
Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, menjelaskan bahwa perubahan UU BUMN dimaksudkan untuk menyesuaikan kebijakan kelembagaan. Salah satu poin utama adalah mengubah status Kementerian BUMN menjadi Badan Penyelenggara BUMN. Menurut Prasetyo, langkah ini diperlukan karena sebagian besar fungsi operasional kini telah dijalankan oleh Danantara. “Presiden selaku pemegang kekuasaan keuangan negara menghendaki adanya perubahan kebijakan perihal kementerian atau lembaga pemerintah yang berwenang atas pengelolaan badan usaha milik negara,” katanya.
Namun, kritik terus mengalir. Sejumlah pengamat menilai Danantara berpotensi menimbulkan kerugian besar jika pengelolaan tidak hati-hati. Asri bahkan menyamakan risikonya dengan skandal 1MDB di Malaysia, yang menjadi kasus pencucian uang terbesar di dunia. “Ini kan targetnya jangka panjang, tidak boleh tergesa-gesa karena akan mengarah dampaknya ke publik yang lebih luas. Bahkan APBN bisa ambruk dan perekonomian goyang,” ucapnya.
Ekonom dari Universitas Indonesia, Telisa Falianty, menambahkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 yang sudah disahkan dengan defisit Rp689,1 triliun seharusnya dikelola lebih hati-hati. Ia menyebut, apabila Danantara dikelola dengan benar, kontribusinya bisa membantu menambah penerimaan negara. Namun, jika salah kelola, maka risiko guncangan fiskal sulit dihindari.
Sementara itu, peneliti INDEF Ariyo Irhamna merekomendasikan sejumlah langkah perbaikan, antara lain memperjelas kriteria pengurus, melarang pejabat politik aktif duduk di Danantara, memperkuat transparansi melalui audit independen, serta menyinkronkan aturan dengan regulasi pasar modal. Ia juga menegaskan pentingnya menghindari rangkap jabatan agar konflik kepentingan dapat dicegah.
Revisi UU BUMN ditargetkan selesai pada penutupan masa sidang pertama DPR 2025–2026. Dengan target waktu yang singkat, pembahasan regulasi ini diperkirakan akan berlangsung intensif. Meski pemerintah menilai perubahan ini dapat memperkuat pengelolaan BUMN, banyak kalangan menilai langkah kilat tersebut justru menimbulkan kekhawatiran baru, terutama terkait akuntabilitas Danantara yang kini memegang dana hingga ribuan triliun rupiah.[]
Putri Aulia Maharani