JAKARTA – Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) membuka ruang dialog dengan masyarakat sipil terkait evaluasi penanganan unjuk rasa yang sempat memanas pada akhir Agustus 2025. Forum yang digelar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta Selatan, Senin (29/09/2025), menjadi ajang bagi berbagai organisasi masyarakat sipil untuk menyampaikan masukan langsung kepada jajaran kepolisian.
Dalam dialog bertema “Penyampaian Pendapat di Muka Umum: Hak dan Kewajiban, Tindakan Anarkistis Menjadi Tanggung Jawab Hukum”, hadir perwakilan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), KontraS, Imparsial, Amnesty International Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Centra Initiative, dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Sejumlah tokoh juga turut hadir, seperti pengamat politik Rocky Gerung dan filsuf Prof. Franz Magnis-Suseno.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa pihaknya ingin mendengarkan langsung kritik serta aspirasi masyarakat sipil.
“Tidak hanya dalam hal penanganan unjuk rasa, tapi juga hal-hal lain yang memang langsung dirasakan oleh masyarakat,” ujar Listyo.
Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur dalam kesempatan itu meminta kepolisian mengubah pendekatan dalam mengelola demonstrasi. Ia menekankan pentingnya pendidikan aparat agar lebih menghormati hak sipil.
“Kami mendorong adanya bagaimana struktur dan program baik dari mulai pendidikan, rekrutmen, kemudian upgrading setiap anggota itu lebih memahami bagaimana prosedur tetap (protap) dan lebih menghargai kebebasan berekspresi,” kata Isnur.
Sementara itu, peneliti ICJR Iftitah Sari mengingatkan agar kepolisian tidak lagi menggunakan tindakan represif.
“Ada sesuatu yang harus diubah di dalam sistem yang harapannya ke depan untuk setiap unjuk rasa, penyampaian melalui demonstrasi itu tidak lagi diikuti oleh aksi-aksi penangkapan dan penahanan yang itu menciptakan iklim ketakutan bagi kami,” ujarnya.
Menanggapi masukan tersebut, Kapolri menyampaikan terima kasih dan menegaskan komitmen institusinya.
“Tentunya kami, Polri, terus akan berupaya untuk melakukan perbaikan dengan transformasi reformasi, hal-hal yang memang harus kita lakukan sesuai dengan perkembangan zaman,” ucapnya.
Sementara itu, Presiden RI Prabowo Subianto dalam kesempatan terpisah turut menyoroti situasi unjuk rasa belakangan ini. Dalam pidatonya saat penutupan Munas Ke-6 PKS, ia mengecam keras aksi kekerasan dan pembakaran fasilitas publik.
“Tindakan membakar gedung yang dibangun dengan uang rakyat, termasuk gedung DPR/MPR, sebagai kejahatan yang tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun,” tegas Prabowo.
Menurut Presiden, aksi-aksi anarkistis tersebut bukan bagian dari perjuangan demokrasi, melainkan upaya pihak tertentu untuk mengacaukan stabilitas nasional. Ia menekankan, pelaku kekerasan dengan sengaja memicu kerusuhan, termasuk membuat bom molotov, sehingga harus ditindak secara hukum.
Dialog publik antara Polri dan masyarakat sipil ini mencerminkan adanya ruang komunikasi yang lebih terbuka, sekaligus menunjukkan bahwa dinamika penegakan hukum atas kebebasan berekspresi di Indonesia masih terus berproses. []
Diyan Febriana Citra.