JAKARTA – Amerika Serikat kembali menghadapi kebuntuan politik yang berujung pada penghentian sebagian operasional pemerintah federal. Sejak Rabu (01/10/2025) pukul 00.00 waktu setempat, pemerintahan yang dipimpin Presiden Donald Trump resmi mengalami shutdown setelah Kongres gagal mencapai kesepakatan anggaran.
Kondisi ini menandai penutupan pemerintahan pertama sejak 2018. Perbedaan tajam antara Partai Republik dan Partai Demokrat mengenai rancangan undang-undang pendanaan sementara membuat kompromi tak tercapai. RUU yang sebelumnya disahkan di DPR oleh mayoritas Republik terhenti di Senat karena penolakan Demokrat, sehingga tidak bisa sampai ke meja Trump.
Akibat shutdown tersebut, jutaan layanan publik di Amerika Serikat ikut terdampak. Pekerja federal yang dikategorikan esensial tetap menjalankan tugas, sementara sekitar 750 ribu pegawai yang dianggap non-esensial dirumahkan tanpa bayaran. Layanan yang terhenti antara lain program bantuan pangan, sekolah prasekolah yang bergantung pada dana federal, pengajuan pinjaman mahasiswa, hingga pengelolaan taman nasional. Inspeksi keamanan pangan juga disebutkan akan terhambat.
Trump menuding Demokrat sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kebuntuan anggaran. Ia bahkan mengancam akan melakukan pemotongan dana yang tidak dapat diubah jika penutupan berlanjut.
Dari sisi ekonomi, para analis menilai dampak langsung dari shutdown biasanya relatif kecil. Sejumlah laporan sebelumnya menunjukkan, perlambatan ekonomi hanya sekitar 0,1 poin persentase dari PDB per pekan. Meski pasar keuangan kerap mengalami guncangan singkat, pemulihan biasanya berlangsung cepat. Namun, kali ini kekhawatiran lebih besar muncul karena kondisi pasar tenaga kerja AS sudah menunjukkan pelemahan sebelum shutdown terjadi.
Selain itu, tertundanya rilis data penting, seperti laporan bulanan ketenagakerjaan dan inflasi, menambah ketidakpastian. Badan Statistik Tenaga Kerja (BLS) yang bertugas menyajikan data tersebut ikut terdampak. Situasi ini dapat menyulitkan The Federal Reserve dalam mengambil keputusan kebijakan moneter, terutama soal arah suku bunga.
Meski sejarah mencatat penutupan pemerintahan pernah berlangsung hingga 35 hari pada 2018–2019, dampak jangka panjang ke perekonomian senilai US$30 triliun relatif terbatas. Bank of America menilai kerugian semacam itu umumnya bisa dipulihkan pada kuartal berikutnya. Namun, dengan skala pegawai yang kini dirumahkan dan kondisi pasar yang rapuh, banyak pihak menilai shutdown kali ini bisa memberi tekanan lebih berat di Washington, D.C., dan sekitarnya. []
Diyan Febriana Citra.