PARIS — Krisis politik yang berkepanjangan di Perancis kembali mencapai puncaknya setelah Perdana Menteri Sebastien Lecornu mengajukan pengunduran diri, hanya sebulan setelah dilantik oleh Presiden Emmanuel Macron. Pengunduran diri itu diterima oleh Macron pada Senin (06/10/2025), beberapa jam setelah kabinet baru resmi diumumkan.
Kepresidenan Perancis menyatakan langkah tersebut menambah ketidakpastian politik yang telah melanda negara itu selama berbulan-bulan. Lecornu sebelumnya ditunjuk pada 9 September 2025 untuk menggantikan Michel Barnier, yang gagal mempertahankan dukungan di parlemen. Namun, upaya Macron untuk menstabilkan pemerintahannya kembali menemui jalan buntu.
Kabinet yang dibentuk Lecornu pada Minggu malam sejatinya tidak membawa perubahan berarti. Sebagian besar wajah lama tetap dipertahankan, sehingga memicu gelombang kritik dari oposisi. Mereka menilai susunan kabinet itu tidak mencerminkan semangat pembaruan yang dijanjikan Macron. Sejumlah pengamat politik menilai, langkah tersebut menegaskan betapa sulitnya Macron melepaskan diri dari lingkaran politik lama yang selama ini menopang kekuasaannya.
Kritik paling tajam tertuju pada keputusan mengangkat Bruno Le Maire, mantan menteri keuangan, menjadi menteri pertahanan. Langkah itu dianggap tidak relevan dengan kebutuhan strategis negara di tengah ketegangan politik dan ekonomi yang memburuk. Lecornu juga menghadapi tekanan besar untuk memperoleh persetujuan parlemen atas rancangan anggaran penghematan 2026 isu yang telah menjatuhkan dua pendahulunya, Francois Bayrou dan Michel Barnier.
Utang publik Perancis kini mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, dengan rasio terhadap PDB menempati posisi ketiga tertinggi di Uni Eropa setelah Yunani dan Italia. Laporan resmi menunjukkan rasio tersebut hampir dua kali lipat dari batas 60 persen yang ditetapkan Uni Eropa. Kondisi ini menjadi sumber perdebatan sengit di Majelis Nasional.
Dalam tiga tahun terakhir, Macron kerap menggunakan mekanisme konstitusional untuk meloloskan anggaran tanpa pemungutan suara, yang oleh oposisi dinilai sebagai langkah otoriter dan mengabaikan prinsip demokrasi. Lecornu sempat berjanji akan mengembalikan peran parlemen, namun situasi politik yang kian terpecah membuat janji itu sulit diwujudkan.
Kebuntuan ini bermula sejak Macron memutuskan menggelar pemilu legislatif dadakan tahun lalu, yang justru membuat koalisinya kehilangan mayoritas. Kini, setelah kehilangan tiga perdana menteri dalam dua tahun, Macron dihadapkan pada dilema besar: mencari sosok baru yang bisa diterima lintas partai, atau menghadapi risiko lumpuhnya pemerintahan di tengah tekanan ekonomi yang semakin berat. []
Diyan Febriana Citra.