JAKARTA — Dua dekade setelah tragedi bom Bali yang mengguncang dunia, sosok Encep Nurjaman Riduan Isamuddin alias Hambali, kembali menjadi perhatian publik. Dalang di balik serangan teror yang menewaskan lebih dari dua ratus orang itu disebut akan segera diadili oleh pengadilan militer Amerika Serikat (AS) pada November 2025 mendatang.
Kabar tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, di Jakarta, Kamis (09/10/2025).
“Hambali belum ada kabar. Pengadilan militer Amerika Serikat akan mulai mengadili bulan November tahun ini,” ujarnya di Kantor Kemenko Kumham Imipas.
Meski demikian, Yusril mengaku belum mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai perkembangan kasus tersebut. Hambali diketahui masih ditahan di penjara militer Guantanamo, Kuba, sejak 2006.
“Hanya dengar-dengar katanya sekitar bulan November akan diadili di Amerika Serikat. Sampai sekarang kami belum tahu perkembangannya,” tambahnya.
Selain soal proses peradilan, status kewarganegaraan Hambali menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah Indonesia. Menurut Yusril, saat tertangkap di Thailand pada 2003, Hambali tidak membawa paspor Indonesia.
“Hambali ditangkap tidak menunjukkan paspor Indonesia, tetapi paspor Spanyol dan Thailand. Hingga kini, kita belum memperoleh data yang sahih dan dokumen resmi yang membuktikan statusnya sebagai Warga Negara Indonesia,” jelasnya, dalam pernyataan tertulis pada 14 Juni 2025.
Fakta itu membuat posisi pemerintah Indonesia serba sulit. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Indonesia hanya menganut asas kewarganegaraan tunggal (single citizenship).
“Yang saya katakan adalah Indonesia pada prinsipnya tidak mengenal adanya dwi kewarganegaraan. Jika ada WNI yang dengan sadar menjadi warga negara lain, dan memegang paspor negara lain, maka status kewarganegaraan Indonesianya otomatis gugur,” tegas Yusril.
Ia menambahkan, apabila Hambali secara sah telah menjadi warga negara lain dan tidak pernah mengajukan permohonan kembali menjadi WNI, maka pemerintah Indonesia tidak memiliki dasar hukum untuk mengakui atau menanganinya secara diplomatik.
“Sesuai hukum yang berlaku, jika seseorang telah menjadi warga negara asing dan tidak ada permohonan resmi untuk kembali menjadi WNI, maka Indonesia tidak dapat mengklaimnya sebagai warga negara kita,” ujarnya.
Hambali lahir di Cianjur, Jawa Barat, pada 4 April 1964, dan dikenal sebagai penghubung antara Jemaah Islamiyah (JI) dan jaringan teroris global Al Qaeda di kawasan Asia Tenggara. Ia disebut otak dari berbagai aksi teror di Indonesia, termasuk Bom Bali 2002, serangan di depan rumah Dubes Filipina (2000), bom Atrium Senen (2001), bom Kedubes Australia (2004), Bom Bali II (2005), serta bom ganda di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton (2009).
Hambali ditangkap dalam operasi gabungan CIA dan aparat Thailand di Ayutthaya pada 14 Agustus 2003, sebelum kemudian diserahkan ke pihak AS dan dibawa ke Guantanamo tiga tahun kemudian.
Kini, menjelang persidangan di AS, posisi Indonesia tampak tegas, tidak akan mencampuri proses hukum terhadap seseorang yang secara administratif tidak lagi diakui sebagai warga negara Indonesia. Pemerintah menegaskan, jika kelak Hambali bebas, ia tidak akan diizinkan kembali ke Indonesia karena dianggap berpotensi mengganggu keamanan nasional. []
Diyan Febrianan Citra.