Kapal China Tabrak Kapal Filipina, Ketegangan Laut China Selatan Memuncak

Kapal China Tabrak Kapal Filipina, Ketegangan Laut China Selatan Memuncak

MANILA – Ketegangan di Laut China Selatan kembali meningkat setelah pemerintah Filipina menuduh kapal milik Penjaga Pantai China (China Coast Guard/CCG) dengan sengaja menabrak kapal pemerintah Filipina di wilayah perairan yang disengketakan. Insiden yang terjadi pada Minggu (12/10/2025) itu menambah panjang daftar konfrontasi maritim antara kedua negara di kawasan strategis tersebut.

Dalam pernyataan resminya, Penjaga Pantai Filipina (PCG) menyebut kapal CCG bernomor lambung 21559 melepaskan tembakan meriam air ke arah kapal BRP Datu Pagbuaya milik Biro Perikanan dan Sumber Daya Akuatik (BFAR) sekitar pukul 09.15 pagi waktu setempat.

“Tiga menit kemudian, kapal yang sama secara sengaja menabrak buritan BRP Datu Pagbuaya, menyebabkan kerusakan struktural ringan namun tidak ada korban luka di antara awak kapal,” ujar PCG dalam pernyataannya yang dikutip AFP.

Benturan tersebut terjadi di sekitar Pulau Thitu yang oleh Filipina disebut Pulau Pag-asa salah satu titik panas di gugusan Kepulauan Spratly, sekitar 500 kilometer dari Palawan. Kawasan ini menjadi pusat perselisihan lama antara Manila dan Beijing yang sama-sama mengklaim wilayah tersebut, bersama beberapa negara Asia Tenggara lain.

Menurut Komodor Jay Tarriela, juru bicara PCG untuk Laut Filipina Barat, kapal BRP Datu Pagbuaya dan dua kapal BFAR lainnya saat itu tengah melindungi para nelayan Filipina dari intimidasi kapal asing.

“Sekitar pukul 8.15 pagi, kapal-kapal maritim China mendekat secara berbahaya dan menyalakan meriam air sebagai bentuk ancaman terhadap kapal BFAR,” kata Tarriela melalui akun resminya di platform X. Ia menambahkan, “Meskipun menghadapi taktik perundungan dan tindakan agresif ini, kami tidak akan gentar atau mundur. Kehadiran kami di Kepulauan Kalayaan sangat penting untuk melindungi hak dan mata pencaharian nelayan Filipina.”

Pernyataan Tarriela menegaskan sikap keras Filipina yang belakangan semakin berani melawan tekanan China di Laut China Selatan. Pemerintahan Manila di bawah Presiden Ferdinand Marcos Jr. memang menunjukkan perubahan kebijakan luar negeri yang lebih tegas dibanding era sebelumnya. Manila kini lebih banyak menggandeng sekutu-sekutu tradisional seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Australia untuk memperkuat posisi pertahanannya di wilayah maritim.

Beijing, di sisi lain, tetap bersikeras atas klaim “sembilan garis putus-putus” yang mencakup hampir seluruh Laut China Selatan, meski putusan arbitrase internasional tahun 2016 telah menyatakan klaim itu tidak memiliki dasar hukum.

Benturan antara kapal Filipina dan China semakin sering terjadi dalam beberapa bulan terakhir, terutama di Laut Filipina Barat. Pemerintah Filipina menilai aksi kapal China kali ini sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan nasional sekaligus ancaman terhadap keselamatan pelaut mereka.

Sementara Kedutaan Besar China di Manila belum memberikan tanggapan atas laporan terbaru ini, PCG menegaskan bahwa mereka tidak akan mundur dari wilayah yang menjadi hak berdaulat Filipina.

“Meski menghadapi tindakan agresif dan perundungan seperti ini, kami tidak akan diintimidasi atau diusir,” tulis PCG. “Kami akan tetap berada di wilayah kami dan menjalankan tugas melindungi rakyat serta sumber daya laut Filipina,” lanjut pernyataan itu.

Insiden ini memperlihatkan bahwa Laut China Selatan masih menjadi titik rawan konflik di Asia. Tanpa adanya mekanisme penyelesaian yang tegas dan dihormati bersama, benturan semacam ini berpotensi memicu krisis diplomatik yang lebih luas di kawasan. []

Diyan Febriana Citra.

Internasional