JAKARTA — Proses hukum yang menyoroti riwayat pendidikan Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka kembali berlanjut. Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat hari ini, Senin (13/10/2025), dijadwalkan menggelar mediasi ketiga dalam perkara gugatan perdata yang diajukan oleh Subhan terhadap Gibran dan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI).
Mediasi kali ini menjadi krusial karena akan menentukan arah penyelesaian perkara. Agenda utama adalah tanggapan dari pihak tergugat, yakni Gibran dan KPU RI, terhadap proposal perdamaian yang sebelumnya diajukan Subhan. Pada pertemuan sebelumnya, penggugat menegaskan bahwa hasil mediasi ketiga ini akan menjadi titik penentu apakah perkara tersebut dapat diselesaikan secara damai atau berlanjut ke tahap persidangan.
“Proposal yang punya saya tadi akan ditanggapi. Jadi, mediasi minggu depan, saya menerima tanggapan itu. Damai dan tidaknya itu di situ,” ujar Subhan usai mediasi kedua di PN Jakarta Pusat, Senin (06/10/2025).
Dalam proposal damainya, Subhan menetapkan dua syarat utama agar gugatan tersebut dapat dicabut.
“Pertama, Para Tergugat minta maaf kepada warga negara, kepada bangsa Indonesia, baik Tergugat 1 atau Tergugat 2. Terus, Tergugat 1 dan Tergugat 2 selanjutnya harus mundur,” katanya.
Subhan juga menegaskan bahwa bila syarat tersebut tidak dipenuhi, ia tidak akan menarik gugatan dan akan melanjutkan perkara ke ranah hukum berikutnya. Menariknya, dalam proposal terbaru, Subhan menghapus tuntutan ganti rugi senilai Rp 125 triliun, yang sebelumnya menjadi sorotan publik. Ia menyebut alasan perubahan itu karena “uang kalah penting dari kebutuhan masyarakat yang lain”.
Meski demikian, perubahan petitum itu belum dibahas oleh hakim karena proses mediasi masih berjalan. Pihak pengadilan menegaskan bahwa seluruh pihak diberi ruang untuk mencari jalan tengah sebelum melangkah ke tahap pemeriksaan pokok perkara.
Gugatan ini berawal dari keraguan Subhan terhadap keabsahan ijazah SMA Gibran. Ia menilai bahwa pendidikan menengah atas yang ditempuh Gibran tidak sesuai dengan syarat pencalonan wakil presiden sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemilu.
“Syarat menjadi cawapres tidak terpenuhi. Gibran tidak pernah sekolah SMA sederajat yang diselenggarakan berdasarkan hukum RI,” ujar Subhan, 3 September 2025.
Data di laman resmi KPU menyebut Gibran menyelesaikan pendidikan setara SMA di Orchid Park Secondary School, Singapura (2002–2004) dan UTS Insearch Sydney, Australia (2004–2007). Namun, Subhan menilai kedua lembaga tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan oleh peraturan pemilu.
“Karena di UU Pemilu itu disyaratkan, presiden dan wakil presiden itu harus minimum tamat SLTA atau sederajat,” ucapnya dalam program Sapa Malam di YouTube Kompas TV.
Melalui gugatan ini, Subhan meminta majelis hakim menyatakan bahwa Gibran dan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum serta menyatakan status Gibran sebagai wakil presiden tidak sah. Walau tuntutan ganti rugi kini ditiadakan, perkara ini tetap menarik perhatian publik karena menyangkut legalitas jabatan tinggi negara dan transparansi data pendidikan pejabat publik.
Mediasi ketiga hari ini akan menjadi momen penting: apakah kasus ini akan berakhir dengan perdamaian atau justru berlanjut menjadi sengketa hukum berkepanjangan di meja hijau.