TEL AVIV — Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali menjalani persidangan dugaan korupsi di Pengadilan Tel Aviv, Rabu (15/10/2025). Sidang yang menarik perhatian publik internasional itu menandai babak baru dalam proses hukum yang telah berlangsung lebih dari lima tahun sejak pertama kali dibuka pada Mei 2020.
Netanyahu datang ke pengadilan dengan senyum lebar, didampingi beberapa menteri dari Partai Likud yang setia mendukungnya. Namun, kedatangannya juga disambut teriakan protes dari demonstran yang menuntut transparansi dan keadilan. Aksi itu menunjukkan betapa isu hukum yang menjerat pemimpin berusia 75 tahun ini masih memecah belah masyarakat Israel.
Tiga kasus besar menjadi sorotan dalam dakwaan terhadap Netanyahu. Ia dan istrinya, Sara, dituduh menerima hadiah mewah senilai lebih dari 260.000 dolar AS (sekitar Rp 4,3 miliar) berupa sampanye, cerutu, dan perhiasan dari sejumlah pengusaha sebagai imbalan atas keuntungan politik. Dua kasus lain menuduh Netanyahu berupaya memengaruhi pemberitaan media agar lebih menguntungkan dirinya secara politik.
Meski begitu, Netanyahu berulang kali menolak seluruh tuduhan tersebut. Ia menyebut kasus itu tidak lebih dari “konspirasi politik” yang sengaja digulirkan untuk menggulingkan kepemimpinannya.
Kehadiran Netanyahu di pengadilan kali ini juga terjadi hanya dua hari setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyerukan agar Israel memberikan grasi bagi sang perdana menteri. Dalam pidatonya di Knesset, Trump bahkan menyindir tuduhan korupsi tersebut dengan nada ringan. “Cerutu dan sampanye, siapa yang peduli dengan itu?” ujarnya disambut tawa para anggota parlemen, sebelum menambahkan, “Mengapa Anda tidak memberinya grasi?” sambil menatap Presiden Israel Isaac Herzog.
Di sisi lain, tekanan hukum terhadap Netanyahu semakin kompleks setelah Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadapnya atas dugaan kejahatan perang di Gaza. Tuduhan tersebut semakin memperburuk citra Netanyahu di mata dunia, di tengah meningkatnya kritik terhadap kebijakan militernya.
Netanyahu, yang kini memegang rekor sebagai perdana menteri terlama dalam sejarah Israel dengan total masa jabatan 18 tahun, masih berusaha mempertahankan kekuasaan politiknya di tengah badai hukum dan tekanan internasional. Rencana reformasi yudisial yang digagasnya sebelumnya sempat memicu demonstrasi besar-besaran sebelum mereda akibat konflik Gaza yang pecah pada 2023.
Sidang korupsi kali ini diyakini akan menjadi ujian penting bagi masa depan politik Netanyahu, sekaligus menakar sejauh mana publik Israel masih menaruh kepercayaan pada sosok yang selama puluhan tahun menjadi wajah utama politik negeri itu. []
Diyan Febriana Citra.