JAKARTA — Pengamat kebijakan publik Bonatua Silalahi akhirnya menerima salinan fotokopi ijazah Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI pada Jumat (24/10/2025). Dokumen tersebut merupakan berkas yang digunakan Jokowi ketika mendaftar sebagai calon presiden pada Pemilu 2014.
Kedatangan Bonatua ke kantor KPU didampingi podcaster Michael Sinaga serta beberapa rekannya. Berdasarkan pantauan, pertemuan berlangsung secara tertutup. Tak lama setelah itu, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo juga tampak hadir, meski datang sedikit terlambat.
Usai pertemuan, Bonatua menjelaskan bahwa dokumen yang ia terima merupakan salinan fotokopi dari ijazah terlegalisir, bukan dokumen asli.
“Yang diberikan itu adalah fotokopi terlegalisir, jadi ini fotokopi yang di-fotokopi. Jadi ini agak beda dengan 2019, ternyata 2014 itu semua masih manual,” ujarnya.
Ia menambahkan, proses administrasi pendaftaran pada Pemilu 2014 memang berbeda dari tahun-tahun berikutnya. Saat itu, peserta menyerahkan fotokopi terlegalisir langsung dari universitas asal, lalu berkas tersebut difotokopi kembali oleh KPU untuk arsip.
“Jadi peserta memberikan fotokopi terlegalisir dari universitasnya, lalu disimpan oleh KPU dan KPU memfotokopi-nya, inilah yang dikasih ke saya,” tutur Bonatua.
Menurutnya, salinan ijazah yang kini diperoleh sesuai dengan dokumen yang telah ia kumpulkan dari berbagai sumber sebelumnya. “Jadi memang dari yang kita kumpulkan, dari 2019, 2014, 2012 di DKI, dan 2010 di Solo itu ijazahnya sama semua,” jelas Bonatua.
Ia menambahkan, timnya kini juga tengah menelusuri dokumen tahun 2005 untuk melengkapi data. “Yang beda itu cuma pejabat-pejabat legalisirnya karena memang tahunnya berbeda,” imbuhnya.
Meski demikian, Bonatua menyoroti adanya bagian dari dokumen yang ditutup oleh KPU. Ia mempertanyakan dasar hukum serta batas waktu kerahasiaan dokumen publik seperti itu.
“Mengapa ditutup? Apa konsekuensinya ke publik jika dibuka? Apa konsekuensinya ke penerima jika dibuka? Pemilik jika dibuka, dan yang paling penting adalah tidak boleh selamanya dirahasiakan. Harus ada masa waktunya,” tegasnya.
Ia menilai, KPU perlu lebih transparan dalam menentukan informasi mana yang dapat diakses publik, apalagi terkait dokumen yang menjadi bagian dari proses demokrasi.
“Misalnya ini kalau kita baca di peraturan keputusan KPU yang nomor 731 lalu, itu dirahasiakan selama lima tahun ini. Seharusnya seperti itu,” tandas Bonatua.
Kehadiran Bonatua di KPU dinilai sebagai langkah penting untuk menegaskan prinsip keterbukaan informasi publik, terutama dalam hal dokumen persyaratan pencalonan pejabat negara. Diskusi ini dipandang sebagai bagian dari upaya mendorong transparansi lembaga pemilu di masa mendatang. []
Diyan Febriana Citra.

