JAKARTA – Menjelang sidang etik yang akan digelar Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) pada Rabu, 29 Oktober 2025, perhatian publik tertuju pada deretan nama anggota DPR nonaktif yang akan diperiksa. Sidang tersebut dijadwalkan melibatkan Ahmad Sahroni dan sejumlah rekannya (dkk) yang saat ini tengah menghadapi polemik terkait status nonaktif mereka di parlemen.
Wacana agar MKD memberhentikan para anggota DPR nonaktif itu menuai pro dan kontra. Di tengah perdebatan tersebut, muncul suara pembelaan dari kalangan masyarakat sipil. Salah satunya datang dari Koordinator Mahasiswa Pemantau Parlemen, Bintang Wahyu, yang menilai desakan pemberhentian itu tidak berdasar dan cenderung tidak adil.
“Mereka Sahroni, Uya Kuya, Nafa Urbach, Adies Kadir serta Rahayu Saraswati adalah para anggota DPR yang dinonaktifkan oleh partai masing-masing,” ujarnya, Selasa (28/10/2025).
Menurut Bintang, status nonaktif tersebut tidak berhubungan dengan pelanggaran hukum berat, apalagi tindak pidana korupsi. Ia menilai, para legislator itu justru menjadi korban dari situasi yang disebutnya sebagai disinformasi, fitnah, dan kebencian (DFK).
“Namun akibat disinformasi, fitnah, dan kebencian mereka semua dicap seolah-olah penjahat besar,” tuturnya.
Bintang menegaskan, para anggota DPR nonaktif itu bukanlah terdakwa koruptor atau pelaku tindak kejahatan dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara. Karena itu, menurutnya, tidak ada dasar etik maupun hukum yang cukup kuat untuk menjatuhkan sanksi berat berupa pemberhentian dari jabatan.
Ia pun mendesak MKD agar menjalankan sidang dengan sikap objektif, transparan, dan berkeadilan. “Sangatlah tidak adil jika mereka harus diberhentikan atau di-PAW. Justru sebagai korban DFK nama baiknya haruslah dipulihkan kembali,” tegasnya.
Seruan serupa disuarakan sejumlah pengamat politik yang menilai kasus ini bisa menjadi tolok ukur independensi MKD. Mereka menilai, lembaga etik DPR perlu berhati-hati agar tidak terjebak dalam tekanan politik partai, apalagi jika proses nonaktif sebelumnya dilakukan secara sepihak.
MKD sendiri memiliki wewenang untuk menilai pelanggaran etik anggota DPR, termasuk yang dinonaktifkan oleh partainya. Namun, publik menanti apakah lembaga ini akan mampu membedakan antara pelanggaran etik murni dan dampak dari kampanye disinformasi di ruang digital.
Jika benar dugaan bahwa mereka adalah korban DFK, keputusan MKD nantinya akan menjadi momentum penting bagi upaya pemulihan nama baik dan kepercayaan publik terhadap proses etik di lembaga legislatif. []
Diyan Febriana Citra.

