JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan pentingnya kehadiran perempuan dalam setiap unsur kelembagaan parlemen. Melalui putusan terbarunya, MK mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Koalisi Perempuan Indonesia, dan pegiat demokrasi Titi Anggraini terkait kewajiban keterwakilan perempuan dalam alat kelengkapan dewan (AKD) di DPR.
Putusan ini menjadi tonggak baru dalam upaya memperkuat kesetaraan gender di lembaga legislatif. Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan nomor 169/PUU-XXII/2024 dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis (30/10/2025).
“Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon IV untuk seluruhnya,” ujar Suhartoyo dalam sidang terbuka.
Dalam amar putusan tersebut, MK menegaskan bahwa setiap AKD di DPR mulai dari komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), hingga Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) wajib memuat keterwakilan perempuan.
Menurut MK, prinsip keterwakilan tidak sekadar formalitas, melainkan bentuk nyata pengakuan atas kontribusi perempuan dalam pengambilan keputusan strategis parlemen. Dalam putusan itu, lembaga peradilan konstitusional tersebut juga merinci pengaturan baru terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Misalnya, pada Pasal 90 ayat (2), MK menyatakan bahwa keanggotaan Badan Musyawarah harus mencerminkan perimbangan jumlah anggota fraksi dengan memastikan ada perwakilan perempuan di dalamnya.
“Anggota Badan Musyawarah berjumlah paling banyak 1/10 dari jumlah anggota DPR berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi dengan memuat keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan pada tiap-tiap fraksi yang ditetapkan oleh rapat paripurna,” jelas Suhartoyo.
Sementara dalam Pasal 96 ayat (2), MK meminta agar keanggotaan setiap komisi DPR juga menyertakan perempuan secara proporsional. Keterlibatan perempuan, menurut MK, harus dijaga dalam setiap masa sidang, baik di awal keanggotaan maupun pada rotasi tahunan.
“Jumlah anggota komisi ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi dengan memuat keterwakilan perempuan,” ujar Suhartoyo.
Dalam amar terakhirnya, MK menegaskan bahwa keterwakilan perempuan di posisi pimpinan AKD tidak boleh kurang dari 30 persen. Dengan demikian, komisi, Baleg, Banggar, MKD, BKSAP, dan BURT wajib memiliki minimal satu perwakilan perempuan di jajaran pimpinan.
“Pimpinan komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, BKSAP, Mahkamah Kehormatan Dewan, dan BURT terdiri atas satu orang ketua dan paling banyak empat orang wakil ketua, yang ditetapkan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi dengan memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen,” tegasnya.
Putusan MK ini disambut positif oleh kalangan aktivis perempuan dan pemerhati demokrasi. Mereka menilai langkah ini sebagai lompatan penting untuk memastikan suara perempuan mendapat ruang setara dalam proses politik nasional. Selain memperkuat representasi, keputusan tersebut juga menegaskan tanggung jawab moral DPR dalam menciptakan kebijakan yang inklusif dan berkeadilan gender. []
Diyan Febriana Citra.

