JAKARTA – Keterlibatan sejumlah anak dalam aksi demonstrasi dan kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah pada akhir Agustus 2025 lalu kembali menjadi perhatian serius pemerintah. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Choiri Fauzi menegaskan, banyak anak yang terlibat dalam aksi tersebut bukan karena keinginan pribadi, melainkan akibat pengaruh dan eksploitasi orang dewasa di sekitarnya.
“Banyak dari mereka ternyata hanya terdorong rasa ingin tahu, namun akhirnya terseret dalam situasi yang berujung proses hukum akibat eksploitasi orang dewasa,” ujar Arifah dalam forum diskusi bertajuk Sinergi Antar Lembaga untuk Terlindungnya Hak-hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum, yang digelar bersama Bareskrim Polri dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Selasa (04/11/2025).
Menurut Arifah, fenomena tersebut mencerminkan persoalan yang bersifat multidimensi. Ia menyebut, masalah ini bukan semata-mata soal hukum, tetapi juga berkaitan erat dengan aspek sosial, psikologis, dan pendidikan anak.
“Kita harus jujur, kita belum mampu menyediakan ruang aman bagi anak untuk menyampaikan aspirasinya. Itu membuat mereka rentan dieksploitasi,” tegasnya.
Kementerian PPPA, lanjut Arifah, telah berkoordinasi dengan Dinas PPA serta Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di seluruh provinsi untuk memastikan pendampingan penuh bagi anak-anak yang kini berhadapan dengan hukum. Bentuk pendampingan mencakup layanan psikologis, konseling, proses diversi, hingga pemenuhan hak pendidikan selama proses hukum berlangsung. KemenPPPA juga meminta kepolisian membuka akses belajar daring bagi anak-anak yang berstatus pelajar agar mereka tidak kehilangan hak pendidikan.
Dalam kunjungannya ke Cirebon dan Surabaya, Arifah menemukan sebagian besar anak yang diamankan saat kerusuhan justru tidak memahami konteks demonstrasi yang mereka datangi.
“Banyak dari anak-anak ini tidak tahu apa-apa. Mereka hanya ingin melihat apa yang terjadi, tapi malah dimanfaatkan orang dewasa dan berujung berhadapan dengan hukum,” ungkapnya.
Ada pula anak yang diduga dipaksa membawa barang jarahan tanpa mengetahui konsekuensinya. Kondisi ini memperlihatkan lemahnya pengawasan serta kurangnya literasi digital di kalangan anak dan orang tua. Arifah menyoroti bahwa media sosial kini menjadi salah satu faktor pemicu utama keterlibatan anak dalam aksi berisiko. Berdasarkan analisis internal KemenPPPA, sekitar 90 persen kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dipicu oleh konten digital yang tidak terkendali dan minim pengawasan keluarga.
Sebagai langkah pencegahan, KemenPPPA mendorong sekolah untuk menghidupkan kembali permainan tradisional berbasis kearifan lokal. Langkah ini diharapkan mampu mengurangi ketergantungan anak terhadap gawai sekaligus memperkuat karakter sosial mereka.
“Melindungi anak bukan hanya tugas aparat. Ini tanggung jawab kita bersama sebagai bangsa yang beradab,” tegas Arifah. Ia menambahkan, keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah perlu bersatu memastikan anak-anak Indonesia tumbuh dalam lingkungan yang aman, terlindungi, dan berdaya. []
Diyan Febriana Citra.

