DPR Soroti Dugaan Monopoli di Industri Perfilman Nasional

DPR Soroti Dugaan Monopoli di Industri Perfilman Nasional

Bagikan:

JAKARTA — Komisi VII DPR RI menyoroti persoalan ketimpangan dalam industri perfilman nasional yang dinilai semakin menguat akibat dugaan praktik monopoli oleh sejumlah pelaku besar di sektor tersebut. Hal ini terungkap dalam rapat kerja antara Komisi VII DPR RI dan Menteri Ekonomi Kreatif Teuku Riefky Harsya di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (06/11/2025).

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Lamhot Sinaga, menyampaikan bahwa pihaknya menerima laporan adanya pelaku usaha yang menguasai berbagai lini bisnis film secara bersamaan, mulai dari rumah produksi (production house/PH), impor film asing, hingga kepemilikan jaringan bioskop.

“Kalau kemudian dia punya bioskop, dia importir, dia PH, tentu berarti orang tersebut akan memprioritaskan film-filmnya masuk ke layar lebar,” ujar Lamhot di hadapan peserta rapat.

Lamhot menilai praktik semacam itu tidak mencerminkan iklim bisnis yang sehat dan berpotensi menghambat perkembangan pelaku film independen. Menurutnya, kondisi tersebut bisa membuat film berkualitas dari rumah produksi kecil kesulitan menembus layar bioskop nasional karena kalah dalam akses dan jaringan distribusi.

Meski belum merujuk langsung pada aturan spesifik dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, Lamhot menegaskan perlunya evaluasi mendalam terhadap regulasi yang ada. Ia menilai bahwa monopoli di sektor kreatif dapat menghambat tujuan pemerintah dalam menjadikan ekonomi kreatif sebagai salah satu penopang utama pertumbuhan nasional.

Lebih lanjut, Lamhot mengungkapkan bahwa perputaran ekonomi di sektor perfilman kini mencapai sekitar Rp3,2 triliun dan terus meningkat sejak berakhirnya pandemi COVID-19. Namun, kenaikan tersebut dinilai tidak memberikan dampak yang merata.

“Peningkatan nilai ekonomi film nasional itu hanya dinikmati oleh segelintir pihak. Banyak PH lokal yang sebenarnya punya potensi besar justru kesulitan memperoleh akses distribusi,” ujarnya.

Ia juga menyebut data bahwa sekitar 60 persen film nasional hanya tayang di jaringan bioskop besar, sementara sebagian besar film tersebut juga diproduksi oleh dua hingga tiga PH yang sama. Kondisi ini memperkuat asumsi bahwa struktur industri film nasional masih timpang.

“Hanya dari dua, tidak sampai tiga PH lah, kenapa? Itu yang tadi disampaikan Pak Menteri, ada kesulitan mengakses layar lebar,” kata Lamhot menambahkan.

Karena itu, DPR mendorong agar Kementerian Ekonomi Kreatif segera menyusun langkah strategis untuk memastikan pemerataan distribusi film nasional serta memberi ruang lebih besar bagi sineas daerah.

“Saya kira itu tujuan Presiden Prabowo membuat Kementerian Ekonomi Kreatif berdiri sendiri untuk menjadikan ekonomi kreatif sebagai instrumen penting penopang APBN,” tegas Lamhot. []

Diyan Febriana Citra.

Bagikan:
Hotnews Nasional