WASHINGTON – Upaya menghentikan siklus kekerasan berkepanjangan di Gaza kembali memasuki babak baru setelah Dewan Keamanan PBB menyetujui rancangan resolusi yang diusulkan Amerika Serikat pada Senin (17/11/2025). Resolusi tersebut memberikan dukungan penuh terhadap rencana perdamaian Presiden AS Donald Trump, termasuk pembentukan Pasukan Stabilisasi Internasional dan dorongan menuju kemungkinan berdirinya negara Palestina di masa mendatang.
Keputusan itu diambil melalui pemungutan suara yang menghasilkan 13 dukungan dari total 15 anggota Dewan Keamanan. Sementara Rusia dan China memilih abstain tanpa mengajukan hak veto mereka. Washington menyambut hasil itu sebagai kemajuan yang signifikan bagi penanganan krisis Gaza yang telah berlangsung lebih dari dua tahun.
Duta Besar AS untuk PBB, Mike Waltz, menilai resolusi ini membuka ruang baru bagi stabilitas kawasan. “Resolusi ini merupakan langkah penting lainnya yang akan memungkinkan Gaza untuk makmur dan menciptakan lingkungan yang memungkinkan Israel hidup dengan aman,” ujarnya, dikutip dari AFP pada Selasa (18/11/2025). Waltz menyebut momentum ini sebagai sinyal positif bagi upaya internasional meredakan konflik dan menciptakan kondisi yang lebih aman bagi warga sipil.
Sebelum mencapai tahap pemungutan suara, rancangan tersebut telah mengalami berbagai revisi selama proses negosiasi intensif. Dalam dokumen final, resolusi secara eksplisit mendukung rencana perdamaian Trump, termasuk penguatan gencatan senjata yang rapuh antara Israel dan Hamas yang dimulai sejak 10 Oktober 2025. Gencatan senjata itu diberlakukan setelah perang dua tahun yang dipicu serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 dan telah mengakibatkan kerusakan luas serta korban sipil yang sangat besar.
Salah satu elemen utama resolusi adalah pembentukan Pasukan Stabilisasi Internasional (International Stabilization Force/ISF). Pasukan ini nantinya akan bekerja bersama Israel, Mesir, serta polisi Palestina yang telah mendapatkan pelatihan baru. ISF bertugas menjaga perbatasan, memastikan demiliterisasi di Gaza, menonaktifkan senjata kelompok bersenjata non-negara, serta mengamankan koridor bantuan kemanusiaan.
Selain itu, resolusi juga menetapkan pembentukan sebuah badan pemerintahan transisi bernama Dewan Perdamaian. Dewan tersebut dirancang untuk mengelola Gaza selama masa transisi hingga akhir 2027 dan, menurut dokumen, secara teoritis akan diketuai langsung oleh Donald Trump. Meski begitu, mekanisme implementasi badan ini masih membutuhkan tahapan lanjutan.
Dalam naskah resolusi yang disahkan, terdapat pula pernyataan mengenai peluang menuju kenegaraan Palestina. “Setelah Otoritas Palestina melaksanakan reformasi yang diminta dan pembangunan kembali Gaza sedang berlangsung, kondisi akhirnya mungkin tersedia untuk jalur yang kredibel menuju penentuan nasib sendiri dan kenegaraan Palestina,” demikian bunyi teks tersebut.
Namun, pemerintah Israel menolak keras poin mengenai kemungkinan negara Palestina. Penolakan ini menambah kompleksitas situasi mengingat isu kenegaraan selalu menjadi salah satu titik tersulit dalam diplomasi Timur Tengah.
Rusia, yang memilih abstain, menyodorkan rancangan resolusi tandingan. Moskwa menilai dokumen AS belum cukup kuat dalam mendukung pembentukan negara Palestina dan menolak usulan pembentukan Dewan Perdamaian maupun pengerahan pasukan internasional dalam waktu dekat. Rusia meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres merumuskan opsi-opsi alternatif sebelum pelaksanaan resolusi.
Di sisi lain, AS memperoleh dukungan penting dari sejumlah negara Arab dan mayoritas Muslim. Qatar, Mesir, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Indonesia, Pakistan, Yordania, dan Turkiye menandatangani pernyataan bersama mendukung resolusi tersebut. Dukungan itu turut memperkuat legitimasi internasional bagi rancangan yang diajukan Washington.
Dengan disahkannya resolusi ini, masyarakat internasional kini menantikan implementasi di lapangan, terutama terkait pembentukan ISF dan penguatan gencatan senjata. Situasi Gaza yang masih sangat rentan membuat keberhasilan resolusi ini bergantung pada kesediaan semua pihak untuk menjalankan komitmen sesuai mandat PBB. []
Diyan Febriana Citra.

