BEIJING — Ketegangan diplomatik di Asia Timur kembali mengemuka setelah rencana pertemuan tiga menteri kebudayaan dari China, Jepang, dan Korea Selatan terpaksa ditunda. Penundaan ini dipicu oleh memburuknya hubungan Beijing–Tokyo, yang kembali memanas usai pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi mengenai Taiwan.
Kementerian Luar Negeri China menegaskan bahwa kondisi saat ini tidak memungkinkan bagi ketiga negara untuk duduk bersama dalam forum kebudayaan tersebut. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, menyampaikan bahwa atmosfer kerja sama trilateral telah terganggu oleh sikap Tokyo.
“Pernyataan keliru pemimpin Jepang tentang Taiwan melukai perasaan rakyat China dan merusak atmosfer kerja sama trilateral. Akibatnya, situasi belum memungkinkan untuk mengadakan pertemuan tersebut,” ujarnya dalam konferensi pers di Beijing, Kamis (20/11/2025).
Pernyataan Takaichi pada 7 November 2025, yang dinilai sensitif oleh Beijing, menyebut bahwa potensi penggunaan kekuatan oleh China terhadap Taiwan dapat mengancam kelangsungan hidup Jepang. Ia juga menolak untuk menarik kembali ucapannya. Respons tegas Beijing kemudian berujung pada penundaan resmi pertemuan yang semula dijadwalkan berlangsung di Makau pada 23–25 November 2025. China menyampaikan pemberitahuan penundaan tersebut kepada Korea Selatan pada Selasa (18/11/2025).
Sejak 2007, pertemuan budaya antara ketiga negara ini menjadi agenda tahunan untuk memperkuat dialog dan pertukaran budaya lintas kawasan. Pertemuan diselenggarakan secara bergiliran, dan hanya beralih ke format daring selama masa pandemi COVID-19. Tahun lalu, pertemuan digelar di Kyoto, Jepang, dan menghasilkan “Deklarasi Kyoto” yang menetapkan Anseong, Makau, dan Kamakura sebagai Kota Budaya Asia Timur 2025.
Namun, suasana positif itu kini memudar. Mao Ning kembali menekankan posisi Beijing mengenai isu Taiwan dengan mengutip latar sejarah.
“Pernyataan pemimpin Jepang menimbulkan tantangan bagi tatanan internasional pascaperang,” katanya. Ia mengingatkan mengenai masa pendudukan Jepang di Taiwan selama puluhan tahun. “Tahun ini menandai peringatan 80 tahun pemulihan Taiwan oleh China. Jepang tidak boleh lupa bahwa Taiwan adalah milik China, Taiwan bukan urusan Jepang. Jika Jepang membuat masalah dengan Taiwan, China tidak akan diam saja,” tegasnya.
Mao juga menuntut Jepang agar mematuhi prinsip Satu China serta menghormati empat dokumen politik bilateral yang selama ini menjadi landasan hubungan kedua negara.
“Jepang harus mencabut pernyataan keliru itu dan mengambil langkah yang menunjukkan penghormatan terhadap komitmennya kepada China,” lanjutnya.
Dampak ketegangan ini meluas ke sektor ekonomi dan mobilitas warga. China kembali menutup impor hasil laut Jepang larangan yang sebelumnya baru saja dicabut pada 5 November setelah diberlakukan sejak 2023 akibat pembuangan air olahan dari Fukushima. Kebijakan ini kembali memperberat industri makanan laut Jepang, terutama para produsen kerang dan teripang, karena China merupakan pasar ekspor terbesar bagi produk tersebut.
Selain itu, Beijing mengimbau warganya untuk menunda perjalanan ke Jepang dan meminta calon mahasiswa mengevaluasi kembali rencana studi mereka demi alasan keamanan. Maskapai di China melaporkan sekitar 491.000 pembatalan tiket tujuan Jepang sejak Sabtu (15/11/2025), setara dengan sekitar 32 persen dari total pemesanan.
Ketegangan terbaru ini menunjukkan bahwa isu Taiwan tetap menjadi titik sensitif yang dapat menggoyahkan kerja sama regional, bahkan pada bidang non-politis seperti kebudayaan. Ketiga negara kini dihadapkan pada tantangan untuk meredakan situasi agar dialog dapat kembali dilanjutkan. []
Diyan Febriana Citra.

