BEIJING – Percakapan telepon antara Presiden China Xi Jinping dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menempatkan dinamika hubungan dua kekuatan besar dunia dalam sorotan internasional. Isu Taiwan, perkembangan perang Ukraina, hingga arah hubungan bilateral Beijing–Washington menjadi inti pembahasan yang berlangsung pada Senin (24/11/2025) malam waktu setempat.
Kementerian Luar Negeri China melalui laman resminya menjelaskan bahwa Xi memanfaatkan percakapan tersebut untuk menegaskan kembali posisi China atas isu Taiwan.
“Presiden Xi menguraikan posisi prinsip China terkait masalah Taiwan. Ia menekankan bahwa kembalinya Taiwan ke China merupakan bagian integral dari tatanan internasional pascaperang,” demikian pernyataan resmi yang diakses di Beijing, Selasa. Penegasan ini mencerminkan konsistensi Beijing dalam memandang Taiwan sebagai isu paling sensitif dalam hubungan mereka dengan Washington.
Meski tidak dipublikasikan siapa yang pertama kali menghubungi, percakapan tersebut berlangsung hampir sebulan setelah Xi dan Trump bertemu langsung di Busan, Korea Selatan, pada 30 Oktober 2025. Dalam pembicaraan itu, Xi menyampaikan bahwa sejarah pernah mempertemukan China dan AS sebagai sekutu dalam melawan fasisme dan militerisme, sebuah kolaborasi yang menurut Xi menjadi pengingat penting bagi kedua negara agar menjaga warisan perdamaian pasca-Perang Dunia II.
Di sisi lain, Presiden Trump merespons dengan nada positif. Ia menyebut Xi sebagai pemimpin hebat dan menegaskan kembali hasil pembahasan mereka di Busan.
“Saya sangat menikmati pertemuan kita di Busan dan sepenuhnya setuju dengan pandangan Anda mengenai hubungan China–AS. Kami sedang menerapkan semua elemen yang telah disepakati di Busan,” ujar Trump, seperti dikutip dari rilis Kementerian Luar Negeri China.
Dalam pernyataan itu, Trump juga mengakui posisi China sebagai bagian penting dari kemenangan Perang Dunia II serta memahami signifikansi isu Taiwan bagi Beijing. Penegasan itu menunjukkan upaya kedua pemimpin mempertahankan saluran komunikasi strategis di tengah banyaknya persoalan global yang terus berkembang.
Xi menambahkan bahwa berbagai kesepahaman telah dicapai kedua negara untuk mengarahkan kembali hubungan bilateral yang selama beberapa tahun terakhir berada dalam tensi tinggi. Ia menyebut baik China maupun AS menilai perkembangan hubungan terkini berada pada arah stabil dan positif, disambut baik tidak hanya oleh kedua negara tetapi juga masyarakat internasional.
“Apa yang telah terjadi kembali menunjukkan bahwa kerja sama China–AS menguntungkan kedua pihak. Sementara konfrontasi merugikan keduanya, sebagaimana telah terbukti berulang kali,” ujar Xi. Ia kemudian menekankan perlunya mempertahankan momentum tersebut demi memperpanjang daftar kerja sama dan mempersempit daftar perbedaan.
“Terus menuju hubungan yang saling menguntungkan, memperpanjang daftar kerja sama dan mengurangi daftar perbedaan, sehingga dapat mencapai kemajuan positif, membuka ruang baru bagi kerja sama China–AS, dan membawa lebih banyak manfaat bagi rakyat kedua negara serta dunia,” tambah Xi.
Selain isu Taiwan, kedua pemimpin juga menyinggung perkembangan konflik Ukraina. Xi menegaskan dukungan China terhadap upaya diplomasi.
“China berharap berbagai pihak dapat memperkecil perbedaan, mencapai kesepakatan damai yang adil, berkelanjutan, dan mengikat sesegera mungkin, serta menyelesaikan krisis ini dari akarnya,” kata Xi.
Pernyataan itu menunjukkan keinginan Beijing agar konflik Ukraina diselesaikan melalui jalur politik, sekaligus menegaskan posisi China sebagai pihak yang ingin mengambil peran dalam mendorong stabilitas global. Percakapan ini memperlihatkan bahwa dialog tingkat tinggi masih menjadi instrumen penting dalam menjaga keseimbangan hubungan dua negara yang kini menjadi pusat geopolitik dunia. []
Diyan Febriana Citra.

