JAKARTA — Upaya hukum terakhir yang diajukan pengusaha Hendry Lie dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah akhirnya kandas. Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi yang diajukan pemilik saham mayoritas PT Tinindo Internusa itu, sehingga vonis 14 tahun penjara yang dijatuhkan pengadilan sebelumnya tetap berlaku.
Dalam salinan putusan perkara nomor 11312 K/PID.SUS/2025 yang diakses melalui laman Info Perkara MA, Jumat (28/11/2025), majelis hakim menyatakan jelas: “Menolak permohonan kasasi terdakwa.”
Putusan tersebut diketok pada Selasa (25/11/2025) oleh Hakim Agung Prim Haryadi, didampingi dua hakim anggota, Arizon Mega Jaya dan Yanto. Saat ini, berkas masih berproses dalam tahap minutasi.
Keputusan MA itu otomatis menguatkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Pada tingkat banding, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara 14 tahun kepada Hendry Lie, disertai denda sebesar Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan. Selain itu, Hendry juga dijatuhi pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti hingga Rp1.052.577.589.599,19 atau sekitar Rp1,5 triliun. Jika tidak dibayar, hukuman penjaranya ditambah delapan tahun.
Kasus korupsi yang menyeret Hendry Lie tidak berdiri sendiri. Ia didakwa menerima aliran dana sebesar Rp1,06 triliun melalui PT Tinindo Internusa. Uang tersebut berasal dari praktik pembelian bijih timah ilegal yang dikemas dalam skema borongan pengangkutan sisa hasil pengolahan (SHP), kerja sama sewa smelter, dan transaksi harga pokok produksi (HPP) PT Timah Tbk.
Jaksa meyakini bahwa rangkaian perbuatan tersebut melibatkan sejumlah pihak lain, baik terdakwa maupun terpidana dalam perkara serupa. Kerugian negara yang ditimbulkan disebut mencapai Rp300 triliun berdasarkan perhitungan penyidik. Angka ini menjadikan kasus PT Timah sebagai salah satu skandal korupsi terbesar yang pernah terjadi di sektor pertambangan nasional.
Dalam dakwaan, Hendry digambarkan memiliki peran sentral. Sebagai pemilik saham mayoritas PT Tinindo Internusa, ia disebut memberikan instruksi kepada General Manager Operasional perusahaan, Rosalina, serta Fandy Lingga yang menjabat sebagai Marketing PT Tinindo Internusa pada periode 2008–2018. Perintah itu terkait pembuatan dan penandatanganan surat penawaran kerja sama sewa alat processing timah kepada PT Timah.
Kerja sama itu dilakukan bersama sejumlah smelter swasta, termasuk PT Refined Bangka Tin, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, dan PT Stanindo Inti Perkasa. Padahal, menurut dakwaan, Hendry mengetahui bahwa smelter-smelter tersebut tidak memiliki tenaga kompeten (CP). Bahkan format surat penawaran kerja sama sudah lebih dulu disiapkan PT Timah sebelum dokumen diajukan.
Tidak berhenti pada kerja sama administratif, Hendry bersama Fandy dan Rosalina melalui PT Tinindo Internusa beserta beberapa perusahaan afiliasi CV Bukit Persada Raya, CV Sekawan Makmur Sejati, dan CV Semar Jaya Perkasa diduga aktif membeli dan mengumpulkan bijih timah dari penambang ilegal di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah.
Putusan MA menandai berakhirnya upaya hukum Hendry Lie. Dengan demikian, ia harus menjalani seluruh konsekuensi pidana yang telah diputuskan, termasuk membayar uang pengganti yang fantastis nilainya. Kasus ini kembali menegaskan besarnya persoalan tata kelola pertambangan timah dan pentingnya pengawasan ketat di sektor tersebut. []
Diyan Febriana Citra.

