JAKARTA — Sidang lanjutan kasus dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menjerat eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi kembali diwarnai sorotan tajam terhadap cara penegakan hukum. Dalam pembacaan nota keberatan atau eksepsi, kubu Nurhadi mempersoalkan perlakuan berbeda yang mereka nilai diberikan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus ini jika dibandingkan dengan perkara yang sempat menyeret nama Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo.
Dalam dakwaan, Nurhadi disebut mengendalikan menantunya, Rezky Herbiyono, untuk menerima gratifikasi dan melakukan pencucian uang melalui rekening pribadi Rezky serta sejumlah pihak lain. Namun, kuasa hukum Nurhadi menyebut KPK terlalu cepat menyimpulkan adanya hubungan antara transaksi Rezky dan klien mereka.
“Kalaupun penerimaan Rezky Herbiyono yang merupakan hasil dari kegiatan bisnis disangkutpautkan dengan Terdakwa, maka timbul pertanyaan, lantas apa bedanya dengan fasilitas yang diterima oleh Kaesang Pangarep?” ujar salah satu pengacara Nurhadi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat (28/11/2025).
Pernyataan itu merujuk pada polemik fasilitas jet pribadi yang pernah digunakan Kaesang dan menjadi perbincangan publik pada Agustus 2024. Menurut pihak Nurhadi, bila KPK menganggap fasilitas yang diterima Kaesang tidak berkaitan dengan statusnya sebagai anak Presiden, maka perlakuan yang sama semestinya dapat diterapkan pada kasus klien mereka.
“Apakah seorang manusia bernama Kaesang Pangarep jika tidak dalam kapasitasnya sebagai putra Presiden? Apa mau oligarki menyediakan fasilitas untuk seorang Kaesang Pangarep jika dia bukan anak dari Presiden Joko Widodo?” ujar kuasa hukum tersebut.
Mereka turut menyoroti sikap pimpinan KPK saat itu yang menegaskan bahwa fasilitas jet yang digunakan Kaesang bukanlah gratifikasi dan karenanya tidak termasuk ranah pemeriksaan KPK.
“Ironisnya, KPK melakukan pembelaan untuk seorang Kaesang Pangarep anak Presiden Joko Widodo yang menerima fasilitas dari oligarki dengan alasan bahwa fasilitas itu diberikan tidak ada kaitannya dengan kedudukan Kaesang Pangarep sebagai anak Joko Widodo selaku Presiden,” imbuh sang pengacara.
Di sisi lain, KPK tetap menjadikan keterlibatan Rezky sebagai bagian integral dari dakwaan terhadap Nurhadi. Pihak Nurhadi menilai hal itu menunjukkan adanya standar ganda.
“Sangat terang dan jelas penanganan perkara a quo KPK in casu penyidik juncto penuntut umum telah menggunakan standar ganda dalam menentukan subyek tersangka,” ucap kuasa hukum Nurhadi.
Selain menyoroti perbedaan perlakuan, kubu Nurhadi juga menilai surat dakwaan JPU tidak memenuhi ketentuan hukum acara pidana. Mereka meminta majelis hakim menyatakan dakwaan cacat dan tidak dapat diterima.
“Surat dakwaan penuntut umum telah disusun dengan melanggar hukum sebagaimana ditentukan Pasal 140 ayat 1 KUHAP dan Pasal 52 ayat 1 Undang-Undang KPK, sehingga dakwaan a quo adalah cacat dan oleh karenanya demi hukum harus dinyatakan tidak dapat diterima,” kata pihak Nurhadi.
Saat ini, Nurhadi kembali duduk di kursi terdakwa untuk perkara dugaan gratifikasi senilai Rp 137,1 miliar dan TPPU Rp 307,2 miliar. Ia dikenakan pasal berlapis terkait UU Tipikor dan UU TPPU. Sebelumnya pada 2021, ia telah divonis bersalah dalam perkara suap dan gratifikasi, dan dijatuhi hukuman 6 tahun penjara.
Kasus ini diperkirakan terus menjadi sorotan karena menyangkut konsistensi penegakan hukum, khususnya terkait pembuktian gratifikasi melalui pihak keluarga. []
Diyan Febriana Citra.

