Pedagang Pasar Senen Protes Larangan Thrifting di Hadapan Menteri UMKM

Pedagang Pasar Senen Protes Larangan Thrifting di Hadapan Menteri UMKM

Bagikan:

JAKARTA — Kunjungan Menteri Usaha, Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman ke Pasar Senen, Jakarta Pusat, pada Minggu (30/11/2025), menjadi momen bagi para pedagang thrifting untuk menyampaikan langsung kegelisahan mereka terkait kebijakan pelarangan pakaian bekas impor. Di tengah padatnya arus pengunjung dan pedagang, suara protes menggema dari lorong-lorong pasar yang selama ini menjadi pusat perdagangan pakaian bekas terbesar di Jakarta.

Para pedagang yang merasa terancam kehilangan mata pencaharian berusaha menghampiri rombongan menteri. Beberapa dari mereka bahkan mengangkat potongan kardus bertuliskan penolakan terhadap larangan tersebut.

“Thrifting Juga UMKM! Jangan Ditutup, Kami Pedagang Kecil!” teriak salah satu pedagang sambil mengacungkan poster protes ke arah menteri.

Mereka menegaskan bahwa aktivitas berdagang pakaian bekas bukan hanya sekadar mencari keuntungan, melainkan menjadi tumpuan hidup keluarga.

“Tolong Pak Menteri, kami pedagang baju bekas juga bayar pajak,” seru seorang pedagang yang menjual kaus mulai dari Rp 20.000. Ada pula pedagang lain yang memohon agar usaha mereka tidak diberi label ilegal. “Jangan dibikin ilegal Pak Menteri, ini hidup kita pedagang di sini,” ujarnya dengan nada penuh emosi.

Salah satu pedagang, Alfi (47), menuturkan bahwa kebijakan pelarangan akan berdampak langsung pada keberlangsungan usahanya. Ia khawatir penutupan keran impor dilakukan tanpa solusi konkret yang dapat menjadi alternatif bagi para pedagang.

“Ya, kalau saya sih gimana ya, pengennya mah tetap boleh gitu. Kita kan cuma dagang, cuma cari duit, masa kita enggak boleh,” kata Alfi.

Menurutnya, selama bertahun-tahun para pedagang thrifting beroperasi secara terbuka dan mengikuti aturan pasar, mulai dari membayar sewa kios hingga rekening listrik.

“Kalau ini ditutup, mati (usaha) kita, Mas. Kita di sini kan bukan maling, kita dagang. Bayar sewa kios, bayar listrik, resmi semua kita di sini,” keluhnya.

Alfi bercerita bahwa sebelum berjualan pakaian bekas impor, ia sempat berjualan produk lokal dari Bandung. Namun saat pandemi Covid-19 melanda, usaha tersebut merosot drastis. “Hampir bangkrut saya,” ujarnya mengenang kondisi sulit ketika pembeli berhenti datang dan stok baju menumpuk tanpa terjual.

Peralihan ke pakaian bekas impor menjadi titik balik hidupnya. Ia mulai belajar sistem pembelian bal dan menjadikannya sebagai sumber pendapatan baru. “Jujur aja, ini yang nyelamatin lah. Orang punya duit Rp 50.000 sudah bisa dapet baju bagus, bermerek,” ungkapnya.

Ia juga menolak anggapan bahwa thrifting mematikan produk lokal. “Kadang sakit hati dibilang kita matiin produk lokal. Lah, kan kita juga orang lokal,” katanya. Menurutnya, harga produk baru dan produk thrift memiliki pasarnya masing-masing.

Alfi menambahkan, ia tidak menolak aturan pemerintah selama diterapkan dengan pertimbangan realistis. “Kalau mau dipajakin mah berat, tapi ya asal wajar. Yang penting jangan ditutup aja,” tegasnya.

Sementara itu, Menteri UMKM Maman Abdurrahman mengakui bahwa persoalan thrifting adalah isu yang tidak sederhana dan menimbulkan dilema antara perlindungan industri lokal dan kebutuhan ekonomi masyarakat kecil. []

Diyan Febriana Citra.

Bagikan:
Nasional