NEW YORK – Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kembali menegaskan posisinya mengenai status Dataran Tinggi Golan melalui sebuah resolusi yang diadopsi pada Selasa (02/12/2025) waktu New York. Dalam sidang pleno tersebut, mayoritas negara anggota memberi dukungan kuat terhadap pernyataan yang menyebut pendudukan Israel di wilayah Suriah itu sebagai tindakan ilegal menurut hukum internasional.
Perdebatan mengenai Golan sudah berlangsung puluhan tahun, namun agenda kali ini memberi tekanan baru bagi Israel, mengingat resolusi tersebut juga menyatakan bahwa aneksasi de facto wilayah itu tidak memiliki legitimasi. Resolusi ini disusun oleh Mesir dan diajukan sebagai bagian dari agenda tahunan terkait situasi di Timur Tengah. Dalam pemungutan suara, draf tersebut diterima dengan dukungan 123 negara, sementara 7 negara menolak dan 41 memilih abstain.
Dalam dokumen itu, Majelis Umum kembali mengutip keputusan Israel pada 14 Desember 1981 yang memberlakukan hukum dan yurisdiksi Israel di wilayah Golan. Keputusan itu secara tegas disebut sebagai tindakan “batal demi hukum dan tidak memiliki validitas apa pun.” Pernyataan tersebut mengulang sikap konsisten PBB terhadap setiap tindakan sepihak yang mengubah status wilayah yang diduduki.
Selain menyoroti aspek legalitas, resolusi ini berisi penegasan tuntutan agar Israel menarik seluruh pasukan militernya dari wilayah Golan Suriah.
“Menuntut sekali lagi agar Israel menarik pasukannya dari seluruh wilayah Golan Suriah yang diduduki berdasarkan batas waktu 4 Juni 1967 sebagai implementasi dari resolusi Dewan Keamanan yang sesuai,” tulis naskah resolusi tersebut.
Kalangan diplomat menilai bahwa seruan penarikan pasukan ini merupakan penegasan ulang dari sejumlah putusan sebelumnya, tetapi dengan konteks politik yang semakin dinamis di Timur Tengah. Kondisi di kawasan masih ditandai oleh ketegangan diplomatik, konflik perbatasan, serta perubahan geopolitik yang melibatkan berbagai aktor global.
Bagi sebagian negara anggota PBB, isu Golan bukan hanya persoalan kedaulatan, tetapi juga kunci bagi stabilitas. Resolusi tersebut menyebutkan bahwa pendudukan yang berkelanjutan “merupakan batu sandungan dalam upaya mencapai perdamaian yang adil, komprehensif, dan abadi di kawasan.” Pernyataan itu mempertegas keyakinan banyak pihak bahwa konflik Israel-Suriah tidak akan menemukan jalan keluar selama status Golan tetap berada di bawah pendudukan.
Meski demikian, negara-negara yang menolak resolusi tersebut beralasan bahwa kondisi keamanan kawasan perlu dipertimbangkan sebelum dilakukan proses penarikan pasukan. Namun pendapat itu tidak mengubah hasil akhir sidang, mengingat dukungan mayoritas cukup besar.
Keputusan Majelis Umum PBB ini dinilai menjadi tekanan diplomatik lanjutan bagi Israel, sekaligus memperkuat posisi Suriah dalam isu kedaulatan wilayahnya. Meski resolusi Majelis Umum tidak bersifat mengikat seperti keputusan Dewan Keamanan, sikap ini menjadi penanda bahwa komunitas internasional masih memandang status Golan sebagai isu yang belum selesai dan memerlukan penyelesaian yang sesuai dengan hukum internasional. []
Diyan Febriana Citra.

