JAKARTA – Putusan terhadap tiga hakim yang terseret dalam perkara suap terkait penjatuhan vonis lepas korporasi dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) akhirnya dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Sidang yang berlangsung pada Rabu (03/12/2025) itu menjadi sorotan publik karena melibatkan aparat penegak hukum yang seharusnya menjaga integritas lembaga peradilan.
Ketiga hakim yang kini berstatus terdakwa Djuyamto, Agam Syarief, dan Ali Muhtarom dinyatakan bersalah menerima suap untuk memengaruhi putusan perkara korupsi CPO. Ketua Majelis Hakim, Effendi, membacakan amar putusan dengan tegas.
“Menyatakan terdakwa Djuyamto telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menerima suap yang dilakukan secara bersama-sama,” ujar Effendi dalam persidangan.
Putusan itu langsung mengonfirmasi dugaan bahwa vonis lepas terhadap tiga korporasi besar dalam industri sawit tidak diberikan secara independen. Majelis meyakini bahwa ada aliran dana yang bertujuan memengaruhi putusan tersebut, sehingga integritas proses peradilan pun tercoreng.
Dalam sidang, hakim merinci hukuman bagi ketiganya. Djuyamto dijatuhi pidana 11 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan, serta kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 9,2 miliar subsider empat tahun penjara. Sementara itu, Agam Syarief dan Ali Muhtarom masing-masing dijatuhi hukuman 11 tahun penjara, denda yang sama, serta uang pengganti Rp 6,4 miliar subsider empat tahun.
Meski berat, hukuman tersebut masih lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang meminta ketiganya dihukum 12 tahun. Namun demikian, majelis hakim mempertimbangkan bahwa ketiganya berperan aktif dalam proses penerimaan suap yang kemudian memengaruhi objektivitas putusan perkara korupsi ekspor CPO.
Dalam pertimbangan putusan, majelis menjelaskan bahwa aliran dana suap tersebut berasal dari Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M. Syafe’i pihak yang bertindak sebagai advokat serta perantara korporasi besar, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Dana tersebut tidak diberikan secara langsung kepada para hakim, melainkan melalui eks Ketua PN Jakarta Selatan, M. Arif Nuryanta, serta Panitera Muda, Wahyu Gunawan.
Dari hasil pemeriksaan, hakim memastikan pembagian dana suap telah dilakukan dan masing-masing hakim memperoleh bagian. Djuyamto menerima Rp 9,2 miliar, sementara Agam Syarief dan Ali Muhtarom masing-masing menerima Rp 6,4 miliar. Perbuatan ini dinilai memenuhi unsur pelanggaran Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 18 UU Tipikor serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Putusan tersebut mengirim pesan kuat bahwa praktik korupsi dalam lembaga peradilan akan disikapi secara serius. Meski demikian, kasus ini juga menjadi pengingat bahwa upaya memperbaiki integritas lembaga hukum harus terus dilakukan secara menyeluruh. []
Diyan Febriana Citra.

