China Minta Thailand–Kamboja Redam Eskalasi Perbatasan

China Minta Thailand–Kamboja Redam Eskalasi Perbatasan

Bagikan:

BEIJING – Ketegangan yang kembali membara di perbatasan Thailand dan Kamboja memicu perhatian berbagai pihak, termasuk China yang selama ini dikenal sebagai mitra dekat kedua negara. Dalam perkembangan terbaru, pemerintah China menyampaikan keprihatinan mendalam dan mendorong kedua belah pihak untuk meredam konflik yang meningkat sejak Minggu (07/12/2025). Seruan ini disampaikan sebagai bagian dari upaya Beijing mendorong stabilitas kawasan Asia Tenggara yang sensitif terhadap ketegangan antarnegara.

“Sebagai teman dan tetangga dekat Kamboja dan Thailand, China dengan tulus berharap kedua belah pihak menahan diri dan bekerja sama untuk mencegah eskalasi situasi lebih lanjut,” ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, dalam konferensi pers di Beijing, Selasa (09/12/2025).

Eskalasi ini dipicu insiden saling serang yang melibatkan serangan udara pesawat tempur F-16 Thailand terhadap artileri Kamboja. Serangan balasan tersebut disebut dilakukan setelah sebelumnya terjadi tembakan dari wilayah Kamboja yang menewaskan seorang personel militer Thailand. Situasi ini kemudian berkembang menjadi pertempuran terbuka di beberapa titik perbatasan.

Menurut militer Thailand, serangan balasan pada Senin (08/12/2025) dilakukan sekitar pukul 07.10 waktu setempat, menyasar apa yang mereka sebut “instalasi dukungan senjata” Kamboja di dekat lintas Chong An Ma. Thailand melaporkan tiga prajuritnya tewas dan 29 lainnya mengalami luka akibat bentrokan yang berlangsung sejak 7 Desember 2025.

Di sisi lain, Kamboja melaporkan korban sipil akibat rentetan serangan udara Thailand. Sedikitnya tujuh warga sipil dilaporkan tewas sehari sebelum pernyataan China tersebut disampaikan. Saling tuduh dari kedua negara terus berlanjut. Thailand menyatakan pasukan Kamboja menembakkan artileri yang merusak rumah warga di Ban Khok Thahan, sementara Phnom Penh mengklaim bahwa Thailand melakukan “operasi militer agresif” di wilayah mereka.

Guo Jiakun menegaskan bahwa Beijing akan tetap mengambil peran aktif dalam mendorong penyelesaian damai. “China akan terus memainkan peran konstruktif untuk meredakan ketegangan dengan caranya sendiri,” ucapnya.

Ketegangan di sepanjang perbatasan kedua negara sejatinya bukan hal baru. Hubungan bilateral mulai merenggang sejak Juli 2025 akibat sengketa wilayah yang memicu serangkaian bentrokan fatal. Padahal, kedua negara telah menandatangani kesepakatan gencatan senjata pada 26 Oktober 2025 di Kuala Lumpur dengan disaksikan Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim.

Namun, kondisi tersebut kembali rapuh. Trump pada Senin kembali menyerukan agar kedua negara mematuhi sepenuhnya gencatan senjata, sementara Anwar mendesak para pihak menahan diri dan menghindari tindakan provokatif.

Imbas dari konflik itu, otoritas di kedua negara terpaksa mengevakuasi ratusan ribu warga. Sekitar 400.000 warga Thailand dan 54.550 warga Kamboja dipindahkan dari zona rawan di sekitar perbatasan.

Sementara itu, Thailand mengambil langkah lebih keras dengan mengadopsi resolusi Dewan Keamanan Nasional (NSC) yang membuka ruang bagi operasi militer tambahan. Perdana Menteri sekaligus Menteri Dalam Negeri Thailand, Anutin Charnvirakul, menegaskan bahwa pemerintahnya siap mengambil tindakan lanjutan sesuai perkembangan situasi.

“Tindakan militer akan diambil dalam segala keadaan, melihat pada perkembangan situasi,” katanya.

Berbeda dengan Thailand, pemerintah Kamboja menyatakan tetap menahan diri dan memilih jalur hukum internasional sebagai mekanisme penyelesaian sengketa. Mereka mengklaim telah menunjukkan “pengendalian diri maksimal” meskipun menjadi sasaran serangan.

Kedua negara berbagi perbatasan sepanjang 800 kilometer yang melintasi wilayah terpencil dan mencakup area bersejarah yang menjadi sumber sengketa bertahun-tahun. Ketegangan terbaru ini kembali menegaskan rentannya kondisi keamanan di kawasan tersebut. []

Diyan Febriana Citra.

Bagikan:
Internasional