WASHINGTON – Pemerintah Amerika Serikat kembali memperketat kebijakan imigrasi dan keamanan perbatasan dengan memperluas daftar negara yang warganya dilarang masuk ke Negeri Paman Sam. Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara resmi menetapkan perluasan kebijakan larangan perjalanan penuh atau Full Travel Ban, yang kali ini mencakup tujuh negara tambahan.
Langkah tersebut diumumkan Gedung Putih dengan alasan perlindungan keamanan nasional dan keselamatan publik. Pemerintah AS menilai negara-negara yang masuk daftar terbaru masih menghadapi persoalan serius dalam sistem penyaringan, pemeriksaan latar belakang, dan kerja sama pertukaran informasi dengan otoritas Amerika Serikat.
“Memperluas dan memperkuat pembatasan masuk terhadap warga negara dari negara-negara yang terbukti memiliki masalah berkelanjutan, dan signifikan dalam proses penyaringan, pemeriksaan latar belakang, serta berbagi informasi, guna melindungi negara dari ancaman terhadap keamanan nasional dan keselamatan publik,” demikian keterangan Gedung Putih dilansir Reuters, Rabu (17/12/2025).
Dalam kebijakan terbaru ini, tujuh entitas yang masuk dalam daftar larangan penuh adalah Burkina Faso, Mali, Niger, Sudan Selatan, Suriah, serta pemegang dokumen perjalanan yang diterbitkan Otoritas Palestina. Selain itu, Gedung Putih juga menetapkan peningkatan status larangan terhadap Laos dan Sierra Leone yang sebelumnya hanya dikenai pembatasan sebagian.
Pemerintah Amerika Serikat memastikan kebijakan larangan perjalanan yang diperluas tersebut akan mulai diberlakukan efektif pada 1 Januari 2026 mendatang. Dengan keputusan ini, warga dari negara-negara yang masuk daftar akan sepenuhnya dilarang memasuki wilayah Amerika Serikat, kecuali dalam kondisi tertentu yang sangat terbatas.
Kebijakan ini menjadi sorotan karena diterapkan di tengah dinamika hubungan Washington dengan sejumlah negara yang terdampak, khususnya Suriah. Langkah pembatasan tersebut muncul meskipun Presiden Trump sebelumnya menyatakan komitmennya untuk membantu Suriah bangkit pascaperang dan menjadi negara yang stabil. Pernyataan itu disampaikan menyusul pembicaraan penting pada November lalu dengan Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa.
Trump diketahui memberikan dukungan politik kepada Sharaa, mantan pemimpin kelompok pemberontak yang berhasil menggulingkan pemerintahan Bashar al-Assad. Dalam setahun terakhir, Sharaa aktif melakukan diplomasi internasional untuk memosisikan dirinya sebagai pemimpin moderat yang ingin menyatukan Suriah dan mengakhiri isolasi internasional yang telah berlangsung puluhan tahun.
Namun, ketegangan kembali meningkat setelah terjadinya serangan di Suriah yang menewaskan dua tentara Angkatan Darat Amerika Serikat dan seorang penerjemah sipil. Militer AS menyatakan serangan tersebut diduga dilakukan oleh kelompok ISIS terhadap konvoi pasukan Amerika dan Suriah. Menanggapi insiden tersebut, Trump menyampaikan kemarahan melalui platform media sosialnya.
Dalam unggahan di Truth Social pada Sabtu, Trump berjanji akan melakukan “pembalasan yang sangat serius” dan menyebut peristiwa itu sebagai serangan yang “mengerikan.”
Gedung Putih kemudian menegaskan bahwa faktor keamanan menjadi pertimbangan utama dalam perluasan larangan perjalanan, termasuk tingginya angka pelanggaran izin tinggal oleh warga negara Suriah di Amerika Serikat.
“Suriah sedang bangkit dari periode panjang ketidakstabilan sipil dan konflik internal. Meski negara itu berupaya mengatasi tantangan keamanannya melalui koordinasi erat dengan Amerika Serikat, Suriah masih kekurangan otoritas pusat yang memadai untuk menerbitkan paspor atau dokumen sipil dan belum memiliki langkah penyaringan serta pemeriksaan latar belakang yang sesuai,” kata Gedung Putih.
Kebijakan ini diperkirakan akan kembali memicu perdebatan global terkait keseimbangan antara kepentingan keamanan nasional dan aspek kemanusiaan dalam kebijakan imigrasi Amerika Serikat. []
Diyan Febriana Citra.

