JAKARTA – Sidang perkara dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook dan Chrome Device Management (CDM) di lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi kembali bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin (22/12/2025). Dalam agenda pembacaan eksepsi, terdakwa Ibrahim Arief alias IBAM melalui kuasa hukumnya mempersoalkan substansi surat dakwaan jaksa penuntut umum, termasuk soal posisi dan penghasilannya sebagai konsultan.
Kuasa hukum Ibrahim menilai dakwaan jaksa disusun secara tidak cermat, kabur, serta tidak memenuhi unsur kelengkapan hukum. Atas dasar itu, pihak terdakwa meminta majelis hakim menyatakan dakwaan batal demi hukum atau setidaknya tidak dapat diterima. Argumentasi tersebut disampaikan dengan menitikberatkan pada peran kliennya yang disebut tidak sesuai dengan fakta hubungan kerja yang dijalani.
Dalam eksepsi, kuasa hukum menegaskan bahwa Ibrahim Arief tidak pernah menjabat sebagai Director of Engineering ataupun menjadi bagian dari tim teknis di Kemendikbudristek, sebagaimana tercantum dalam dakwaan. Menurutnya, Ibrahim hanya bekerja sebagai tenaga konsultan di Yayasan PSPKI pada periode Januari hingga Juni 2020.
“Ibrahim Arif bukan pejabat negara, bukan staf khusus menteri, dan bukan orang dalam kementerian,” ujar kuasa hukum Ibrahim Arif.
Lebih lanjut, pihak pembela menyebut kliennya tidak memiliki relasi sebelumnya dengan pejabat kementerian dan tidak pernah terlibat dalam komunikasi internal, termasuk dalam grup pesan singkat yang kerap disebut jaksa.
“Klien kami juga tidak pernah bergabung dalam grup WhatsApp Mas Menteri Core Team maupun Education Council,” ujarnya.
Kuasa hukum juga mempersoalkan pencantuman nama Ibrahim dalam surat keputusan Tim Teknis dan dokumen kajian pengadaan. Ia menegaskan, pencantuman tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan kliennya, serta tidak pernah disertai penerimaan honor apa pun.
“Klien kami baru tahu keberadaan SK tersebut ketika perkara ini muncul, bertahun-tahun setelah SK diterbitkan,” jelasnya.
Jaksa penuntut umum sebelumnya menuding Ibrahim Arief terlibat dalam penyusunan kajian teknis, penetapan harga satuan, alokasi anggaran, hingga pelaksanaan pengadaan laptop untuk tahun anggaran 2020–2022. Namun, kuasa hukum menilai tudingan itu tidak logis mengingat peran kliennya terbatas sebagai konsultan rancang bangun aplikasi pendidikan, tanpa kewenangan menentukan kebijakan pengadaan maupun anggaran.
Ia juga menyoroti fakta bahwa Ibrahim telah mengundurkan diri dari Yayasan PSPKI sejak Juni 2020, sementara realisasi pengadaan baru berlangsung setelah periode tersebut.
“Tidak masuk akal seorang konsultan yang sudah mengundurkan diri dituduh mengatur pengadaan hingga tiga tahun berikutnya,” ucapnya.
Terkait sorotan publik atas gaji Rp 163 juta per bulan yang diterima Ibrahim, kuasa hukum menegaskan penghasilan tersebut sepenuhnya bersumber dari Yayasan PSPKI, bukan dari anggaran negara. Besaran gaji disebut ditentukan melalui mekanisme profesional dan bahkan lebih rendah dibandingkan penghasilan kliennya sebelumnya.
“Keputusan klien kami bergabung bukan karena besaran gaji, karena gaji tersebut senyatanya turun hampir setengahnya dari penghasilan Klien kami pada pekerjaan sebelumnya. Pada waktu yang sama, klien kami juga menolak tawaran pindah ke London dari Facebook meski sudah lolos seleksi,” imbuhnya.
Dalam dakwaan yang dibacakan sebelumnya, jaksa mengungkap bahwa Ibrahim menerima gaji Rp 163 juta per bulan sebagai konsultan dalam tim teknologi atau Wartek yang dibentuk oleh Nadiem Anwar Makarim. Jaksa menyebut tim tersebut dibentuk untuk mendukung program digitalisasi pendidikan berbasis sistem operasi Chrome.
“Bahwa pada tanggal 2 Desember 2019, Nadiem Anwar Makarim membentuk tim teknologi atau Wartek di antaranya Ibrahim Arief alias IBAM yang merupakan tenaga konsultan di bawah Yayasan PSPK dengan gaji Rp 163 juta net per bulan,” ujar jaksa.
Jaksa juga mengungkap kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 2,1 triliun, yang berasal dari dugaan kemahalan harga pengadaan Chromebook dan CDM sepanjang 2020–2022. Perkara ini turut menyeret sejumlah pejabat, termasuk mantan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim, yang dakwaannya dijadwalkan dibacakan pekan depan karena masih menjalani perawatan medis. []
Diyan Febriana Citra.

